Wednesday, August 28, 2019

Kaitan Antara Karo dengan Kerajaan Pagaruyung dan Siak


             Banyak diantara warga Melayu yang tinggal di Deli Serdang dan Langkat jika ditanyakan tentang nenek-moyang dan asal-usulnya akan menyatakan bahwa nenek moyang dan asal-usul mereka berasal Karo. Beberapa diantara mereka bahkan secara persis dapat menyebut cabang marga mereka sebagai salah satu diantara 5 marga masyarakat Karo, yakni: Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring, Ginting dan Tarigan. Kenyataan ini menjadi suatu petunjuk bahwa orang Karo bukan hanya meliputi mereka yang masih mengenakan marga (Karo) atau tinggal di dataran tinggi Karo. Ada berbagai informasi yang menunjukkan  bahwa orang Karo bahkan juga menyebar ke daerah lainnya seperti Samosir, Asahan, Simalungun, Pakpak bahkan hingga ke Aceh.
Belakangan ini, saya membaca kembali sebuah buku yang berjudul: Sejarah Batak Karo, Sebuah Sumbangan yang ditulis oleh J.H, Neumann. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Bhratara, Jakarta pada tahun 1972. Buku ini merupakan buku terjemahan dari artikel berbahasa Belanda dengan judul: Bijdrage Geschiedenis van de Karo-Batakstammen yang dimuat dalam majalah Bijdragen tot de taal-, Land-en Volkenkunde, LXXXII (1926: hlm 1 – 36) dan LXXXIII (1927: hlm 162 – 180).
Pada kata pengantar yang ditulis oleh Koentjaraningrat disebutkan: “ …Neumann berkesimpulan bahwa daerah asli dari orang Karo di Dataran Tinggi Karo, mula-mula didiami oleh suatu suku-bangsa, yang rupa-rupanya juga tersebar sampai jauh ke Selatan ialah daerah Samosir dan Asahan”. Kesimpulan ini setidak-tidaknya dapat menunjukkan adanya fenomena migrasi orang Karo keluar dari Dataran Tinggi yang pada gilirannya memberikan kesempatan bagi mereka untuk berinteraksi dan berasimilasi dengan suku dan masyarakat lainnya.
Sayangnya, banyak fakta yang hilang dari catatan, yang telah menyebabkan kita tidak memiliki informasi yang cukup untuk menggambarkan bagaimana perjalanan orang Karo di wilayah lain, yang sekaligus juga menyebabkan kaburnya pemahaman kita tentang “apa dan bagaimana”nya kehidupan orang Karo ketika berada di wilayah lain serta “apa dan bagaimana”nya interaksi mereka dengan masyarakat lain.
Padahal, pemahaman tentang interaksi antar suku ini sedemikian pentingnya mengingat bahwa bangsa Indonesia adalah multi etnis, beraneka ragam golongan serta agama yang sering berpotensi konflik. Pemahaman tentang interaksi ini akan sangat bermanfaat dalam membentuk cross-culture affiliation yang mampu meredam sejak dini peluang konflik antar etnik, setidak-tidaknya di Sumatera bagian Utara yang juga dikatakan sebagai wilayah multi etnik.

Kaitan dengan Kerajaan Pagaruyung
Kerajaan Pagaruyung ternyata memiliki kedekatan tertentu dengan orang Karo. Sebuah buku “pustaka”, yakni “Pustaka Kembaren” mencatat kedekatan tersebut. Sekedar catatan singkat mengenai buku ini: salinan dari buku ini yang ditulis dengan huruf Karo pada kulit kayu diperoleh oleh J.H. Neumann dari seseorang yang bernama Pa Belat yang bekerja di wilayah Langkat Atas. Buku itu sendiri sebelumnya dimiliki oleh penghulu Sapo Padang, sebuah kampung yang terletak di Langkat Atas dengan lama perjalanan kira-kira sehari berjalan kaki ke arah atas Bohorok.
Pada bagian awal pustaka tersebut dituliskan dengan jelas bahwa asal-usul marga Kembaren adalah Kerajaan Pagaruyung. Disebutkan dalam postaka tersebut: “Lit me ndube anak Pagaruyung dua sembuyak, dua nandena: sintua tading i Pagaruyung, singuda lawes engkeleweti pulau Perca enda” (Dahulu ada orang-orang Pagaruyung, dua orang laki-laki kakak beradik yang berlainan ibunya. Yang sulung tinggal di Pagaruyung, sedangkan yang bungsu merantau mengelilingi Sumatera).
Berdasarkan informasi tersebut maka dapat dicatat bahwa mereka yang bermarga Kembaren memiliki hubungan saudara seayah dengan seseorang di Kerajaan Pagaruyung. Mengapa Pagaruyung disebut sebagai kerajaan? Karena disebutkan bahwa sibungsu yang melakukan perjalanan merantau mengelilingi Sumatera dibekali dengan sebuah tanda yaitu cap kerajaan dan pisau kerajaan (dengan sebutan: piso bala bari).
Hari ini, kita melihat bahwa hampir tidak pernah mengemuka lagi informasi tentang kedekatan kedua masyarakat ini. Orang Karo juga hampir-hampir tidak memiliki sama sekali informasi tentang hubungan kedua etnik ini, sehingga dalam pembicaraan sehari-hari, hampir tidak pernah disinggung oleh kebanyakan orang Karo maupun orang Pagaruyung dari Sumatera Barat. Bahkan hingga hari ini juga tidak ada sejarawan mencoba melacak kaitan kedua suku ini. Hubungan antara keduanya seolah-oleh begitu saja hilang ditelan zaman.
Disamping info tentang nama Pagaruyung, dalam buku pustaka tersebut juga disinggung tentang kerajaan lain yang disebut sebagai Kuala Ayer Batu, sebagai tempat asal-usul salah seorang isteri dari nenk moyang marga Kembaren, disamping 6 (enam) isteri lainnya yang berasal dari Makkah (Mekkah atau Malaka?).

Kaitan dengan Kerajaan Siak
            Kerajaan Siak juga ternyata memiliki kedekatan dengan orang Karo. Berdasarkan upaya J.H. Neumann melacak asal-usul dan penyebaran orang Karo melalui tradisi lisan folklore, diperoleh informasi tentang hubungan dekat antara orang yang bemarga Tarigan dengan kerajaan Siak. Seorang tokoh marga Tarigan yang bernama (salah satu dari nama berikut): Nuan Kata/Onan Katana/Nongon Kata/Ngenan Kata, semula bermukim di Kuala, kemudian berpindah ke Padang Sambo, dan selanjutnya ke Sugo, dan pindah lagi ke Ale Deli dan terakhir berlayar ke Sait dan tempat itu didudukinya. Nama ini diganti dengan Siak.
            Setelah menjadi penguasa di Siak, disebutkan pula bahwa dia pernah mengirim surat dan sebilah pisau kepada Sibayak Sungai Siput. Perlu dicatat bahwa Sibayak Sungai Siput ini adalah nenek moyang Sibayak Kabanjahe: Pa Mbelgah dan Pa Pelita. Dalam ingatan J.H. Neumann, Pa Pelita pernah mengatakan bahwa dia memiliki hubungan keluarga dengan Sultan dari Siak.
            Informasi di atas demikian singkatnya, sehingga sedemikian mudah pula hilang dari ingatan mereka yang bermarga Tarigan. Sama dengan cerita tentang hilangnya nama Pagaruyung dari perbincangan sejarah marga Sembiring Kembaren, maka ternyata nama Siak juga hampir tidak pernah disinggung lagi oleh komunitas bermarga Tarigan di Tanah Karo.
            Para sejarawan di Sumatera bagian Utara semestinya dapat melihat soal ini sebagai sebuah tantangan akademik. Dengan meminta dukungan dari masing-masing universitasnya, para peneliti sejarah dari Sumatera Utara dapat bekerjasama dengan para peneliti dari Sumatera Barat. Penelitian tentang rekonstruksi sejarah suku-suku di Sumatera bagian Utara di tengah potensi konflik antar kelompok sering dilupakan dalam riuh-rendah perkembangan bangsa ini yang kian hanyut oleh arus berbagai masalah keseharian yang aktual seperti perkembangan politik dan ekonomi regional yang mendesak.
Sejarah kelihatannya memang telah dianggap menjadi sesuatu yang beku karena all that have happenend dan final…

No comments: