Tuesday, June 1, 2021

Pilkada Karo di Balik Tirai Politik Transaksional

 Mengapa partai X memilih Mister A menjadi calonnya dalam Pilkada Karo? Kita tidak memiliki jawaban yang persis. Padahal banyak pihak berharap partai ini akan memilih calon yang dianggap paling mumpuni dalam menatakelola pemerintahan Kabupaten Karo lima tahun ke depan. Banyak pihak berharap partai ini bersusah payah menggaruk-garuk tanah dari ujung Utara hingga ujung Selatan Taneh Karo Simalem, bahkan bilamana perlu dari Sabang hingga Merauke untuk mendapatkan sosok orang yang dianggap berkompeten untuk memimpin kabupaten kaya hasil pertanian ini. Namun, harapan itu sering buyar ketika nama calon telah diumumkan ke publik. Harapan telah tinggal harapan. Roda politik toh harus berputar menjalani jalan becek dan berliku yang setiap hari dijalani oleh 300an ribu orang yang sedang menengadah mengharap turunnya calon pemimpin sakti mandra guna mengubah nasib daerah ini.


Mengapa partai Y memilih Mister B sebagai calonnya? Jawabannya juga tidak persis diketahui! Bukankah Mister B tidak begitu populer di Kabupaten Karo? Tidakkah dengan sendirinya popularitas partai akan ikut tergerus oleh kehadiran sang calon? Tidak adakah kekuatiran bahwa ketidakpopuleran calon akan menghambat laju partai dalam merengkuh suara pada Pemilu periode yang akan datang? Jawabannya hanya pejabat partai yang tahu persis!

Ah, betapa susahnya merengkuh jawaban atas semua pertanyaan yang terbang ke angkasa. Sebenarnya, seorang calon lain yakni Mister C walau harus bersaing dengan calon lain, dianggap sebagai calon yang memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan demi perbaikan. Namun niatnya untuk melangkah sejak awal telah terganjal karena tidak memiliki simpanan logistik yang cukup sesuai hitung-hitungan yang dipersyaratkan.

Partai politik yang konon dianggap sebagai wadah dan infrastruktur politik rakyat masih selalu menutup pintu bagi konstituennya untuk memiliki suara dalam menentukan calon yang dianggap pantas. Kata "rakyat" yang sering terucap hanya sebagai pemanis di bibir. Dalam prakteknya, aspirasi rakyat dianggap sepi.

Aktor politik juga demikian. Mereka merasa tidak perlu bertanya kepada konstituen tentang jalan yang harus ditempuhnya untuk menuju kursi kepemimpinan. Padahal jika dimulai sejak dini, mereka punya waktu untuk blusukan dari desa ke desa. Berdiskusi langsung dengan masyarakat pemilih, termasuk membuat kontrak politik, dan mendapat restu diberikan fotocopy KTP menjadi calon independen. Sang Calon sering lebih percaya pada insting dan "tim sukses"nya. Mereka juga tidak merasa berdosa ikut menjadi calon dengan kewajiban harus menyediakan biaya logistik kepada partai, termasuk "uang pengingat" kepada calon pemilih. Atau mereka mungkin merasa kepalang basah telah mengeluarkan biaya untuk sosialisasi sebagai calon. Ibarat judi, kepalang tanggung telah mengeluarkan uang taruhan; ya sebaiknya lanjut bermain, siapa tahu kartu tiba-tiba berubah membawa keberuntungan.
Tim sukses (sebenarnya) tidak lebih tidak kurang adalah makelar politik. Mereka harus mendapatkan calon konsumen. Jika tidak, maka bangkrutlah bisnisnya. Bagi tim sukses setiap orang memiliki peluang untuk memenangkan pemilihan kepala daerah. Sekecil apapun peluang, harus tetap dibaca sebagai peluang. Masalahnya, bagaimana memoles agar peluang kecil menjadi besar, dan memoles peluang besar menjadi sebuah kemenangan. Apakah tim sukses memiliki tanggung jawab terhadap para pemilih? Tentu tidak. Pertanggungjawaban mereka adalah kepada konsumennya (calon). Para pemilih adalah pendulang intan.

Tim sukses adalah pembeli intan. Ketika intan telah dibeli dan dibayarkan dengan uang, ikatan jual-beli telah berakhir. Soal selanjutnya adalah mempersembahkan intan demi memenangkan calonnya. Karena itu, para pemilih seharusnya menjauhi siapa pun yang termasuk anggota tim sukses. Jangan berikan kepercayaan sedikit pun!

Begitulah dinamika politik yang menyeruak menjelang Pilkada Karo. Semua pihak bergerak dan bekerja menurut kepentingannya yang diterjemahkan ke dalam agenda setting masing-masing. Rakyat sebenarnya hampir tidak memiliki peluang untuk merubah nasibnya melalui pemilukada. Maka ketika demokrasi dipercaya sebagai mekanisme penerjemahan aspirasi massa dalam pengelolaan pemerintahan, muncul pertanyaan demokrasi apa yang sedang berlangsung ini? Rakyat ternyata lebih menjadi penonton ketimbang pemain. Mereka bukan subyek melainkan obyek kekuasaan. Teriakan mereka tak lebih tak kurang hanya ibarat bergaung di tebing karang dinding gunung. Keluhan mereka tak lebih tak kurang ibarat lolongan anjing malam di hutan basah.

Dalam pemilihan umum, harta rakyat adalah suaranya. Suara adalah alat untuk menentukan siapa yang layak didudukkan sebagai pemimpin. Bagi seorang pemilih, suara akan sangat berarti (bernilai) jika memiliki ketersambungan (asosiasi) dengan calon. Bahwa sosok calon yang bersambung dengan apirasi pemilih. Jika sosok calon yang ada tidak berkorelasi dengan aspirasi, maka suara pada galibnya tidak memiliki nilai apa-apa. Banyak pemilih memutuskan untuk tidak ikut memilih, karena suaranya tidak memiliki korelasi dengan calon yang tersedia. Pemilih lainnya, kemudian memilih alternatif lain yakni mengubah nilai suara dari "ideologis" ke "ekonomis" dengan menjual suaranya kepada calon yang bersedia membelinya dengan harga tertentu. Pemilih yang lebih "cerdas" akan menjadikan suaranya sebagai umpan pemancing rupiah masuk ke kantongnya. Setiap calon yang membayar diterimanya dengan senang hati. Namun, dibilik suara dia akan memilih orang yang membayar termahal.

Apa yang perlu dicermati dalam Pilkada Karo yang akan datang adalah berapa banyak pemilih yang merasa tidak tersambung aspirasinya dengan proses-proses penjaringan calon yang dilakukan parpol? Jika ternyata jumlahnya sedemikian besarnya, maka itu menjadi pertanda bahwa dalam Pilkada Karo akan terdapat swing voters dan golput yang merasa bahwa suaranya tidak memiliki makna secara ideologis. Sebagian akan tetap memilih sebagai golput karena calon-calon yang ada tidak memiliki ketersambungan dengan preferensinya. Sebaliknya sebagian lainnya akan menjadi swing voters yang siap menggunakan suaranya sebagai komoditas pengisi kantong; sekedar uang minum atau uang rokok! Daya tahannya sebagai candu rasa nyaman hanya 1-3 hari.

Semoga Pilkada Karo berjalan mulus. Namun, di balik tirai pentas kali ini naga-naganya politik transaksional atau money politic masih akan tetap membayang-bayangi! Mari, publik yang mencintai Karo Simalem tetap bersikukuh mengawasi...

Friday, April 10, 2020

Averiana Barus - Beluh Nami-nami


Pada Sebuah Sore Bersama AVERIANA BARUS


“Oh ya saya datang Pak!”, sebegitu singkat dan cepat sang beru Karo ini menyambut ajakan saya untuk ngobrol pada sore itu. Dia berpakaian ringkas, melangkah tangkas dan bicara cerdas. Itu  kesan awal yang tertangkap.
Uis Karo sudah lama, tapi dijadikan sebagai fashion, itu baru”, ungkapnya memulai percakapan. “Bisa dikatakan setelah Rumah Uis lah, orang aware bahwa uis Karo bisa dijadikan pakaian dan akhirnya mereka yang mau dan sanggup, berlomba-lomba. Mereka kemudian menyatakan dirinya ini saya , dan saya orang Karo! Itu point pentingnya”, lanjutnya.

Averiana Barus
Averiana Barus, pemilik dan pengelola produksi pakaian dengan merk “Rumah Uis” yang dalam kesehariannya sudah melibatkan lima orang staf dan dua puluhan orang yang terlibat dalam produksi. Usaha ini berlokasi di Jalan Jamin Ginting KM 8 Padang Bulan. Lokasi itu sekaligus tempat untuk berproduksi dan toko untuk memajang hasil produksi dan berjualan.

Tidak hanya terlibat dalam hal produksi Uis, bahkan tesis untuk mendapatkan gelar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP - USU yang saat ini sedang ditulis juga mengambil topik Uis.
Beru Karo ini, pernah 3 tahun bergelut dalam dunia jurnalistik pada sebuah media dari sebuah usaha penerbitan besar di Medan. Namun keinginannya untuk meraih sesuatu yang lebih dan dekat dengan passionnya, kini mengantarkannya pada sebuah dunia yang berbeda yaitu produksi kain tradisi Karo yang disebut “uis”, plus membuat karya musik sebagai penyanyi.

Dia putuskan hengkang dari kegiatan jurnalistik, walaupun penghasilan sebagai jurnalis sebenarnya terbilang cukup, namun magnet berkesenian ternyata telah menariknya sedemikian kuat tidak terbendung. Hari-hari dalam kekiniannya, sepenuhnya bergumul tentang karya seni uis maupun musik yang serasa lebih membawanya pada dunia yang selama ini hidup dalam lubuk hatinya yang terdalam.

Pada rembang sore itu, obrolan dengannya pun mengalir seperti bual di jambur kuta tengah kesain; dari satu topik meloncat ke topik lain. Dalam rangkaian obrolan yang mengalir diselingi suara intrumentalia piano lagu “We Are The World”, sang artis kita ini menyemburkan komentar: "Ada missing link pada tradisi uis kita. Dulu, orang hanya memakai uis Karo kemana-mana. Ke sawah memakai uis Karo, ke pesta juga, ku tiga e kang, medem pe e kang karena hanya itu pakaian yang tersedia. Sekarang uis hanya dipakai ke pesta adat, jika dipakai untuk pakaian sehari-hari misalnya dibuat kemeja ada yang keberatan. Kenapa keberatan? Disitu ada yang terputus. Ketika jaman kita sudah mengenal kemeja, penggunaan uis dikesampingkan. Hanya digunakan untuk peradatan. Padahal dulunya dipakai ke setiap kegiatan.”

Menurut Averiana, dulunya warna uis Karo adalah indigo (nila). Namun, belakangan sebagai hasil interaksi dengan suku lain dan teknologi baru muncullah warna lain seperti warna merah. Orang Karo suka warna merah agaknya berhubungan dengan kondisi lingkungan. Warna merah tampak menyolok dalam lingkungan alam Karo yang didominasi warna hijau.

Averiana melihat wanita Karo bukanlah penenun seperti wanita Batak Toba. Wanita Karo lebih memilih berladang karena keuntungan dari bertani jauh lebih besar dari bertenun. Hal ini disebabkan suburnya tanah di Karo berkat keberadaan gunung berapi seperti Sinabung sehingga membuat pertanian lebih mejadi penopang hidup masyarakat Karo. Maka aktivitas menenun uis Karo pun ditinggalkan orang demi pertanian dengan menanam cabe, tomat, jeruk, kopi dan sebagainya. Kebutuhan masyarakat Karo akan kain tenun disuplai oleh penenun-penenun dari Samosir dan sekitarnya.
“Disana lahan pertanian sangat terbatas, sehingga mereka tetap menenun sebagai mata pencaharian” ujar Averiana yang lahir 29 Maret 1987.

Rumah Uis memproduksi aneka produk fashion berbahan kain adat, tas hingga perhiasan unik khas Karo. Kehadiran Rumah Uis menjadi penting karena belum banyak yang mengeksplorasi kain Karo untuk dijadikan ajang fashion. Averiana menjadi pelopor produk-produk berbahan Uis Karo dan produknya pun kian diminati. Ia mengenalkan ragam Uis Karo lewat busana-busana yang ia desain sendiri bersama timnya.

Percakapan dengan Averiana di sore itu sangat menarik dan sebenarnya masih banyak yang perlu diperbicangkan dengan wanita Karo yang berbakat dan berpengetahuan luas ini. Ketika disinggung mengenai rumah adat yang sering menjadi logo dari berbagai organisasi Karo, menurutnya sebenarnya masih banyak ornamen Karo yang mengandung makna filosofi yang dalam tapi kurang mendapat perhatian. Akhirnya rumah adat saja yang dibuat, karena hanya itu yang diketahui sebagai representasi Karo.

Ketika malam turun, lampu-lampu jalan mulai menyala, percakapan kami harus terhenti, dan kami pun berpisah. Benar, masalah budaya Karo khususnya terkait dengan uis tradisional, masih banyak yang menarik untuk diperbicangkan secara mendalam dengan Averiana. Itu disimpan untuk perjumpan pada kesempatan lain.

Wednesday, August 28, 2019

Kaitan Antara Karo dengan Kerajaan Pagaruyung dan Siak


             Banyak diantara warga Melayu yang tinggal di Deli Serdang dan Langkat jika ditanyakan tentang nenek-moyang dan asal-usulnya akan menyatakan bahwa nenek moyang dan asal-usul mereka berasal Karo. Beberapa diantara mereka bahkan secara persis dapat menyebut cabang marga mereka sebagai salah satu diantara 5 marga masyarakat Karo, yakni: Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring, Ginting dan Tarigan. Kenyataan ini menjadi suatu petunjuk bahwa orang Karo bukan hanya meliputi mereka yang masih mengenakan marga (Karo) atau tinggal di dataran tinggi Karo. Ada berbagai informasi yang menunjukkan  bahwa orang Karo bahkan juga menyebar ke daerah lainnya seperti Samosir, Asahan, Simalungun, Pakpak bahkan hingga ke Aceh.
Belakangan ini, saya membaca kembali sebuah buku yang berjudul: Sejarah Batak Karo, Sebuah Sumbangan yang ditulis oleh J.H, Neumann. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Bhratara, Jakarta pada tahun 1972. Buku ini merupakan buku terjemahan dari artikel berbahasa Belanda dengan judul: Bijdrage Geschiedenis van de Karo-Batakstammen yang dimuat dalam majalah Bijdragen tot de taal-, Land-en Volkenkunde, LXXXII (1926: hlm 1 – 36) dan LXXXIII (1927: hlm 162 – 180).
Pada kata pengantar yang ditulis oleh Koentjaraningrat disebutkan: “ …Neumann berkesimpulan bahwa daerah asli dari orang Karo di Dataran Tinggi Karo, mula-mula didiami oleh suatu suku-bangsa, yang rupa-rupanya juga tersebar sampai jauh ke Selatan ialah daerah Samosir dan Asahan”. Kesimpulan ini setidak-tidaknya dapat menunjukkan adanya fenomena migrasi orang Karo keluar dari Dataran Tinggi yang pada gilirannya memberikan kesempatan bagi mereka untuk berinteraksi dan berasimilasi dengan suku dan masyarakat lainnya.
Sayangnya, banyak fakta yang hilang dari catatan, yang telah menyebabkan kita tidak memiliki informasi yang cukup untuk menggambarkan bagaimana perjalanan orang Karo di wilayah lain, yang sekaligus juga menyebabkan kaburnya pemahaman kita tentang “apa dan bagaimana”nya kehidupan orang Karo ketika berada di wilayah lain serta “apa dan bagaimana”nya interaksi mereka dengan masyarakat lain.
Padahal, pemahaman tentang interaksi antar suku ini sedemikian pentingnya mengingat bahwa bangsa Indonesia adalah multi etnis, beraneka ragam golongan serta agama yang sering berpotensi konflik. Pemahaman tentang interaksi ini akan sangat bermanfaat dalam membentuk cross-culture affiliation yang mampu meredam sejak dini peluang konflik antar etnik, setidak-tidaknya di Sumatera bagian Utara yang juga dikatakan sebagai wilayah multi etnik.

Kaitan dengan Kerajaan Pagaruyung
Kerajaan Pagaruyung ternyata memiliki kedekatan tertentu dengan orang Karo. Sebuah buku “pustaka”, yakni “Pustaka Kembaren” mencatat kedekatan tersebut. Sekedar catatan singkat mengenai buku ini: salinan dari buku ini yang ditulis dengan huruf Karo pada kulit kayu diperoleh oleh J.H. Neumann dari seseorang yang bernama Pa Belat yang bekerja di wilayah Langkat Atas. Buku itu sendiri sebelumnya dimiliki oleh penghulu Sapo Padang, sebuah kampung yang terletak di Langkat Atas dengan lama perjalanan kira-kira sehari berjalan kaki ke arah atas Bohorok.
Pada bagian awal pustaka tersebut dituliskan dengan jelas bahwa asal-usul marga Kembaren adalah Kerajaan Pagaruyung. Disebutkan dalam postaka tersebut: “Lit me ndube anak Pagaruyung dua sembuyak, dua nandena: sintua tading i Pagaruyung, singuda lawes engkeleweti pulau Perca enda” (Dahulu ada orang-orang Pagaruyung, dua orang laki-laki kakak beradik yang berlainan ibunya. Yang sulung tinggal di Pagaruyung, sedangkan yang bungsu merantau mengelilingi Sumatera).
Berdasarkan informasi tersebut maka dapat dicatat bahwa mereka yang bermarga Kembaren memiliki hubungan saudara seayah dengan seseorang di Kerajaan Pagaruyung. Mengapa Pagaruyung disebut sebagai kerajaan? Karena disebutkan bahwa sibungsu yang melakukan perjalanan merantau mengelilingi Sumatera dibekali dengan sebuah tanda yaitu cap kerajaan dan pisau kerajaan (dengan sebutan: piso bala bari).
Hari ini, kita melihat bahwa hampir tidak pernah mengemuka lagi informasi tentang kedekatan kedua masyarakat ini. Orang Karo juga hampir-hampir tidak memiliki sama sekali informasi tentang hubungan kedua etnik ini, sehingga dalam pembicaraan sehari-hari, hampir tidak pernah disinggung oleh kebanyakan orang Karo maupun orang Pagaruyung dari Sumatera Barat. Bahkan hingga hari ini juga tidak ada sejarawan mencoba melacak kaitan kedua suku ini. Hubungan antara keduanya seolah-oleh begitu saja hilang ditelan zaman.
Disamping info tentang nama Pagaruyung, dalam buku pustaka tersebut juga disinggung tentang kerajaan lain yang disebut sebagai Kuala Ayer Batu, sebagai tempat asal-usul salah seorang isteri dari nenk moyang marga Kembaren, disamping 6 (enam) isteri lainnya yang berasal dari Makkah (Mekkah atau Malaka?).

Kaitan dengan Kerajaan Siak
            Kerajaan Siak juga ternyata memiliki kedekatan dengan orang Karo. Berdasarkan upaya J.H. Neumann melacak asal-usul dan penyebaran orang Karo melalui tradisi lisan folklore, diperoleh informasi tentang hubungan dekat antara orang yang bemarga Tarigan dengan kerajaan Siak. Seorang tokoh marga Tarigan yang bernama (salah satu dari nama berikut): Nuan Kata/Onan Katana/Nongon Kata/Ngenan Kata, semula bermukim di Kuala, kemudian berpindah ke Padang Sambo, dan selanjutnya ke Sugo, dan pindah lagi ke Ale Deli dan terakhir berlayar ke Sait dan tempat itu didudukinya. Nama ini diganti dengan Siak.
            Setelah menjadi penguasa di Siak, disebutkan pula bahwa dia pernah mengirim surat dan sebilah pisau kepada Sibayak Sungai Siput. Perlu dicatat bahwa Sibayak Sungai Siput ini adalah nenek moyang Sibayak Kabanjahe: Pa Mbelgah dan Pa Pelita. Dalam ingatan J.H. Neumann, Pa Pelita pernah mengatakan bahwa dia memiliki hubungan keluarga dengan Sultan dari Siak.
            Informasi di atas demikian singkatnya, sehingga sedemikian mudah pula hilang dari ingatan mereka yang bermarga Tarigan. Sama dengan cerita tentang hilangnya nama Pagaruyung dari perbincangan sejarah marga Sembiring Kembaren, maka ternyata nama Siak juga hampir tidak pernah disinggung lagi oleh komunitas bermarga Tarigan di Tanah Karo.
            Para sejarawan di Sumatera bagian Utara semestinya dapat melihat soal ini sebagai sebuah tantangan akademik. Dengan meminta dukungan dari masing-masing universitasnya, para peneliti sejarah dari Sumatera Utara dapat bekerjasama dengan para peneliti dari Sumatera Barat. Penelitian tentang rekonstruksi sejarah suku-suku di Sumatera bagian Utara di tengah potensi konflik antar kelompok sering dilupakan dalam riuh-rendah perkembangan bangsa ini yang kian hanyut oleh arus berbagai masalah keseharian yang aktual seperti perkembangan politik dan ekonomi regional yang mendesak.
Sejarah kelihatannya memang telah dianggap menjadi sesuatu yang beku karena all that have happenend dan final…

Friday, December 14, 2018

Pada Suatu Sore: Obrolan Musik Karo


Sobatku seorang ahli bangunan. Cocoknya, dia jadi konsultan bangunan, namun nasib mengantarnya jadi tukang. Keahliannya yg lain, mengutak-atik mesin mobil hingga sepeda motor. Overlay dengan amatan Gus Dur di tahun 80-an tentang orang Karo, maka sobatku ini pastilah Karo sejati. Tiada hari tanpa utak-atik mesin. Namun belakangan ini "rejeki"nya lebih sering nyangkut proyek bangunan. Katanya: "Rejeki ibarat musim ditengah climate change yang meng-global. Susah meraba musim; yang penting nyala api tidak menjulang ke atas (la pajek gara api) di dapur."

Ketika pada suatu sore yang mengelinyang, kami ngobrol, bual utara-selatan. Disela obrolan yang seperti rantai sepeda, saya klik pada android sebuah video klip lagu Karo yang diposting oleh seorang pemusik Karo sebuah lagu yang dilantunkan Femila Sinukaban, "Ara Sitengen-tengen".

Sontak, sobatku menyemburkan komentar: "Sayang sekali, sayang sekali..." Kenapa? Jawabnya: "Potensi anak muda Karo jaman now sedemikian besar, tapi tak cukup untuk menerbangkannya ke orbit angkasa". Dalam pandangannya, bakat, kreativitas dan keterampilan tak cukup mengangkat karya seni anak muda Karo hingga orbit langit musik Indonesia, apalagi ke orbit musik internasional. Dibutuhkan gawe bersama antar kelompok, dan antar generasi.

Dalam pandangannya, generasi Karo sebelumnya tak punya greget membantu pemusik dan penyanyi muda Karo. Jangan-jangan mereka tidak care sama sekali. Kenapa? Mereka menganggap musik Karo adalah musik Karo yang dulu mereka sering dengar. Mendengar musik adalah nostalgia, mengenang masa lalu. Musik sekarang seharusnya tetap pada pakem lama, jika pun berubah ya seperti musik gendang kibod salih ku patam-patam atau lagu dan musik jaman Jaga Depari, Jusuf Sitepu,  Hormat Barus atau Darmi Perangin-angin.

Musik untuk nostalgia? Sobatku sangat meyakini trend itu. Seolah-olah karya baru dengan sentuhan baru tidak lah begitu direspons. Tidak menggores kalbu! Tidak menyentuh perasaan. Akhirnya lewat begitu saja tanpa diterge. Tak ada bual kede kopi yang memburas soal musik anak muda. Tak ada yang bahas tentang konser Plato Ginting, konser Murni Surbakti, atau konser Averiana Br. Barus.
Dalam sebuah grup WA orang Karo, hanya 2 - 3 orang yang merespons ketika seorang partisipan menyampaikan info bahwa lagu Karo Famili Taksi yang dinyanyikan B3Voice telah ditonton lebih dari 2 juta penonton. Obrolan tentang kelakuan Gubernur Sumatera Utara yang diwawancarai reporter TV atau ramalan nomer togel jauh lebih menggoda. Akh...

Menurut sobat saya yang lain, seorang dosen di Medan, jangan tangisi situasi ini. Kita memang tidak memiliki habitus yang secara khusus concern untuk mengamati, membincangkan, menikmati, lengkapnya mengapresiasi karya-karya seni dari segment masyarakat kita. Lebih dari itu, kita tidak memiliki agency structure sebagaimana yang terdapat pada sistem sosial bangsa lain yang secara khusus concern bertanggungjawab mengurusi produk budaya dari masyarakat/etnik. Agency ini lah yang memberi suatu ruang dalam kehidupan setiap sistem sosial untuk mengguyurkan karyanya untuk dinikmati seluruh anggota masyarakat.

Kembali pada sobatku sang tukang. Ketika sore kian tertutup tirai hari, dia mengakhiri semburatannya dengan mengajukan pertanyaan pilu sepilu suara serak surdam, kapankah orang Karo yang telah mapan secara ekonomi mau bersama-sama menyediakan panggung besar secara reguler bagi karya-karya anak muda Karo yang akan mengangkat nama Karo?

Sambil menggulung sampannya dia melontarkan keyakinannya bahwa terangkatnya sebuah karya seni akan menginspirasi karya dan prestasi di bidang lain seperti olah raga maupun pendidikan dan teknologi.

Catatan:
*) Sampan = Kampoh

MAHARANI Br TARIGAN - ULA BERJUT