Monday, February 25, 2008

Politik La Perotik-otik

Oleh Robinson Sembiring

Konon kata mereka yang yang pada tahun tujuh puluhan banyak membaca buku ilmu politik, konsep ”pembangunan politik” saat ini tidak begitu banyak digunakan orang dalam diskursus politik Indonesia. Namun tidak berarti bahwa pembangunan politik tidak diperlukan lagi. Apalagi kalau pembicaraan dibawa ke ranah politik lokal, akan terlihat betapa issue tentang pembangunan politik masih relevan dan perlu.
Bagaimanakah sebuah public policy dihasilkan oleh pemerintahan lokal di Taneh Karo Simalem; adakah jaminan bahwa aspirasi masyarakat lokal ikut terjaring pada proses pembuatan kebijakan; adakah pemilihan pejabat-pejabat teras mempertimbangkan rasa keadilan dan simpati masyarakat, dan serangkai pertanyaan lainnya perlu dikemukakan untuk menakar sampai dimana demokratisasi telah berlangsung di wilayah “pusung ndabuh” ini. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas akan dapat memberi gambaran tentang sejauhmana pembangunan politik suatu komunitas Karo Sirulo telah tercapai.

Penyepelean
Akh… buat apa bicara politik, dan untuk apa menyinggung pembangunan politik ? Pertanyaan semacam ini masih mengemuka dalam bincang-bincang di kedai kopi pada pagi hari. Alasannya, bicara politik diyakini tidak akan memperbaiki cuaca atau musim, apalagi memperbaiki harga jual sayur-sayuran atau meningkatkan harga jual jeruk. Bicara politik juga tidak akan mengubah apa-apa terhadap tindakan pemerintah dalam mengelola pembangunan. Bicara politik hanya “pekeri-keri arang” sementara “besi la tembe” alias buang waktu. Lebih-kurang argumentasi senada akan mengumandang bersamaan dengan menguapnya asap dan aroma mie tiauw goreng dan gemerincing sendok mengaduk gula pada gelas teh manis.
Masih harus dicatat bahwa wacana politik lokal dianggap hanya soal yang sepele. Jauh lebih menantang dan merangsang bicara tentang konstelasi kekuasaan pada pemerintahan SBY, atau bahkan issue-issue seputar persaingan Hillary Clinton dengan Barack Obama yang sedang membumbung dalam percaturan kekuasaan di AS.
Soal bagaimanakah kualitas public policy, siapa pejabat teras yang dipilih D.D. Sinulingga, signifikankah perubahan iklim administrasi pemerintahan setelah era Sinar Perangin-angin, itu hanya akan menyebabkan suasana perbincangan di kedai kopi menjadi tidak lancar mengalir seperti air. Disadari atau tidak, suasana mehangke ncakapken sikerajangen kalak masih demikian kuat dalam tradisi komunikasi politik orang Karo. Jabatan masih dipandang sebagai milik (kerajangen) orang yang sedang mendudukinya, bukan milik publik !

Gugatan
Maka ketika diajukan gugatan terhadap progress pembangunan politik lokal di Taneh Karo, gugatan tersebut hanya akan merasuk ke dalam benak mereka yang memang belajar tentang ilmu politik dan memiliki kemampuan melakukan overlay antara konsep-konsep atau pemikiran politik dengan realitas politik aktual yang sedang berlangsung. Sedangkan, mereka yang hanya berbekal pemahaman politik berdasarkan referensi terhadap wacana dan perilaku politisi sehari-hari sebagaimana terlihat di lapangan atau sebagaimana terpampang dalam siaran-siaran talk-show ala stasion-stasion tv Indonesia, hanya akan menggeleng-geleng kepala untuk menyatakan pembangunan politik tidaklah merupakan sesuatu yang penting.
Dalam pengertian sehari-hari, masih sangat banyak orang melihat bahwa politik bukanlah sesuatu yang baik. Politik tidak lebih tidak kurang sama dan sebangun dengan perotik-otik. Orang yang dikatakan sebagai ahli politik dianggap adalah orang yang tangkas adu mulut dan cekatan memutar-mutar pernyataan yang dibungkus dengan istilah-istilah dari bahasa asing yang sulit dipahami.
Padahal politik tentu saja bukan seperti yang dipahami di atas. Politik adalah segenap proses tata-hubungan kekuasaan. Ketika seseorang mau meraih kekuasaan, maka dia harus berhadapan dengan segugus nilai yang tidak pernah mampu diterjemahkan secara tidak lengkap oleh peraturan perundang-undangan. Begitu pula ketika seseorang telah meraih kekuasaan, maka dia pun harus berhadapan dengan segugus nilai yang justru harus dia terjemahkan dalam kebijakan atau tindakan-tindakannya.
Berdasarkan sejarah politik, penterjemahan gugusan nilai oleh pemegang kekuasaan ini justru sering lebih banyak nisbahnya ketimbang penterjemahannya ke dalam perundang-undangan. Hal ini terjadi karena sedemikian luas wilayah kebijakan yang harus dicakup, sementara sedemikian sempit ruang untuk memilih karena sedemikian terbatasnya sumberdaya yang dimiliki.

Penjernihan
Maka belajar politik bukanlah belajar pinter bicara berputer-puter dengan istilah yang asing di telinga kaum awam. Melainkan belajar tentang bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan, mulai dari tindakan-tindakan para aktor politik meraih kekuasaan, tindakan-tindakan rakyat dan wakil rakyat berhubungan dan mengawasi pemegang kekuasaan, dan tindakan-tindakan pemegang kekuasaan menterjemahkan nilai dan tujuan kenegaraan (nation-state) ke dalam kebijakan-kebijakannya.
Kelihatannya, sebelum memegang barang licin seperti konsep pembangunan politik sebaiknya istilah politik sendiri perlu dijernihkan terlebih dulu pengertiannya. Setelah pemahaman tentang politik telah lebih mengena sesuai dengan pengertian politik sebagaimana diajukan pendahulu pemikir-pemikir politik, bahwa politik bukan otak-atik (politik la perotik-otik) barangkali konsep seperti pembangunan politik telah bisa dibawa ke kedai kopi untuk untuk dibahas bersama. Alhasil, secara bersama-sama kita akan melihat betapa compang-campingnya kehidupan politik di negeri atas awan Taneh Karo Simalem saat ini...