Oleh Robinson Sembiring
Dalam politik, kecanggihan strategi dan kepiawaian dalam komunikasi politik mampu menjadikan berbagai kesalahan orang/kelompok di masa lalu menjadi serba relatif. Masyarakat dapat ditelikung dengan relativitas tersebut sehingg menjadi tidak percaya diri, serba salah atau tidak berdaya. Bahkan terkadang harus hanyut untuk menerima dan memaafkan kesalahan tersebut.
Sejujurnya, banyak tokoh atau aktor politik
Makna Politik
Mengapa mereka masih berjaya dalam arena politik ? Salah satu alasannya terletak pada bagaimana aktor politik dan masyarakat memahami makna politik. Sepanjang pengalaman masyarakat Indonesia dalam berpolitik, jangan-jangan makna politik adalah sama dengan kebohongan, persisnya “royal lie” (kebohongan orang-orang terhormat). Masyarakat Jawa memiliki sebuah konsep khas untuk mengungkapkan hal tersebut yaitu “apus kromo”. Politik mendapat makna seperti itu, karena apa yang paling sering terlihat dalam politik, yaitu ketika orang-orang bicara tentang politik, semuanya tak lebih ibarat berbohong mengiklankan suatu barang/produk tertentu. Iklan yang satu akan mengatakan: Inilah sabun terbaik ! Sementara, iklan yang lain juga mengatakan: Ini sabun terbaik ! Padahal, dalam realitasnya ternyata sabun itu amat boros penggunaanya. Khalayak ramai merasa tidak perlu protes terhadap hal tersebut, karena kebohongan dalam iklan sudah dianggap lazim. Demikian pula halnya ketika suatu kelompok tertentu mengedepankan/menjagokan seorang tokoh, maka anggota-anggota kelompok tersebut akan mengatakan: Dia yang terbaik ! Walaupun untuk itu mereka harus melakonkan sandiwara demi meyakinkan orang banyak. Padahal, sang tokoh yang dimaksud pada masa lalu terlibat dengan sebuah kesalahan besar.
Syahdan, sang tokoh akhirnya terpilih dan sah menjadi pemimpin atau anggota baru dewan legislatif. Aturan perundang-undangan memperbolehkan itu. Dia disambut ramai-ramai, dielu-elukan dan dipuja-puji oleh orang-orang yang benar-benar pemujanya maupun orang-orang yang dibayar untuk memujanya. Semua diliput media massa, dan media massa secara sengaja atau tidak sengaja telah mengaburkan makna ketokohan maupun kebohongan dalam politik. Situasi semacam ini sering terjadi dalam dunia politik, sehingga politik tak lebih dan tak kurang adalah sandiwara, kepura-puraan dan kebohongan. Mereka yang tampil dan melakukannya tak perlu merasa malu, karena semuanya telah menjadi bersifat relatif. Dulu, mereka bisa salah atau keliru. Sekarang, mereka bisa berbuat baik dan beramal, membantu orang-orang yang tertimpa bencana atau mendirikan yayasan sosial. Untuk perbuatan baik ini mereka mendapat kesempatan untuk wawancara yang selanjutnya disiarkan kepada khalayak umum. Penampilan berulang-ulang pada media massa dalam intensitas yang tinggi sering menyebabkan kesalahan masa lalu telah menjadi kesalahan relatif. Dan sebaliknya, kejujuran yang dipertujukkan oleh oleh tokoh yang benar-benar jujur juga telah menjadi kejujuran relatif yang setiap saat bisa diartikan sebagai kebodohan.
Media massa tidak merasa bersalah atas semua perkembangan tersebut. Tugasnya adalah memberitakan apa yang terjadi. Berita yang dijual harus laku agar besok bisa terbit lagi. Masyarakat pun membaca dan mendengar berita, karena mereka membutuhkan berita. Mereka telah terkondisikan menjadi orang-orang yang setiap saat harus mencandra perkembangan yang paling mutahir. Kondisi seperti ini bergulir terus, dan akhirnya sang tokoh dapat melenggang kangkung mencapai tujuannya. Semua menjadi mungkin melalui berbagai peluang yang diperolehnya dengan menggunakan segala macam sumber daya yang dimilikinya. Salah satu sumber daya yang paling sering digunakan adalah uang dan ikatan historis.
Akhirnya, dalam politik seolah-olah tidak perlu bicara kejujuran. Yang diperlukan adalah uang dan kesepakatan. Keduanya dengan mudah dapat dipertukarkan dengan piranti-piranti yang dibutuhkan, termasuk ditukar menjadi ancaman maupun teror. Di TV seringkali muncul tokoh yang ditangkuhkan sebagai pakar berkata-kata bahwa dalam politik tidak penting kejujuran, yang ada adalah strategi (asalkan saja memenuhi persyaratan/prosedur yang ditentukan dalam konstitusi). Segenap strategi dibenarkan selama tidak terperangkap oleh aturan perundang-undangan. Proses-proses politik menjadi tidak perlu menimbang rasa/nilai kemaslahatan publik. Politik adalah macht norming, yakni melulu perjuangan kekuasaan.
Pengertian politik benar-benar telah bergeser dari pengertian yang dikenal dalam kepustakaan ilmu politik. Dalam kepustakaan ilmu politik, politik bukanlah melulu sebagai kegiatan pencapaian kekuasaan, melainkan juga mencakup penggunaan kekuasaan untuk kemaslahatan publik. Sehingga, sekali seseorang telah memperoleh kekuasaan, maka sebenarnya dia juga telah menandatangani hutang berupa kewajiban untuk menggunakannya demi kepentingan masyarakat.
Kegagalan Pejuang Reformasi
Ketidakkompakan elit, dan perpecahan para pejuang reformasi sering dianggap telah menciptakan peluang bagi aktor-aktor politik lama untuk kembali berkiprah lagi. Gerakan kelompok mahasiswa menjadi gerakan tersendiri dan terpisah dari mereka yang dulunya dinyatakan sebagai tokoh reformasi. Bahkan sebahagian telah ditarik kesana kemari melalui “pembelian”. Sangat disayangkan bahwa mereka telah gagal memperjuangkan misi perjuangan “agenda reformasi” dikarenakan berbagai pertimbangan praktis demi meraih kekuasaan. Mereka terkotak-kotak oleh ambisi dan issu yang mereka ingin perjuangkan masing-masing. Upaya memberantas KKN dan pemulihan ekonomi sebagai prasyarat untuk menggapai kemajuan bangsa telah tertinggal begitu saja. Rasa-rasanya, sekarang ini semua pihak masih dirasuki ambisi akan kekuasaan dan uang.
Aktor-aktor politik lama ibaratnya telah menjadi pendekar-pendekar sakti mandraguna dan kaya pengalaman bertanding di lapangan. Mereka memiliki sangat banyak jurus-jurus mematikan dalam kancah pertandingan politik. Mereka juga memiliki emas dan permata yang cukup untuk membiayai segenap piranti yang diperlukan untuk menguasai dunia persilatan politik
Filter Politik
Perlahan tapi pasti rasanya kita kembali ke masa lalu melalui para pemimpin yang berasal dari masa lalu. Ini seharusnya bukan sebagai pilihan, bahkan seyogyanya dihindari. Jarak calon-calon pemimpin tersebut masih demikian dekat dengan masa lalu, sehingga hubungan-hubungan (kepentingan) lama masih dapat hidup kembali. Filter andalan untuk menghempang kemungkinan tersebut, adalah membangun kesadaran bersama. Namun, perkara membangun kesadaran bersama ini menjadi sesuatu yang amat pelik bagi bangsa
Agar kondisi ini tidak berlanjut, seharusnya para pemimpin berganti. Teori apa pun yang akan digunakan untuk menjelaskan kondisi Indonesia, suatu hal yang jelas bahwa masyarakat Indonesia ternyata sering dapat berubah jika terdapat pemimpin yang kuat dan mampu mendorong masyarakat. Masyarakat belum terlalu jauh terpisah dengan masa lalunya dengan kecenderungan paternalistik. Pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang secara psikologis dekat dengan masyarakat, pemimpin yang mampu menjadi “Bapak Bangsa”. Kegiatan utamanya adalah memikirkan rakyat, bukan memikirkan partai atau kelompok orang yang telah mengangkatnya.
Pemimpin baru yang dibutuhkan adalah mereka yang tak punya kaitan dengan politik lama dan kesalahan lama, karena jaraknya dengan politik dan kesalahan tersebut belum begitu jauh. Masih terdapat ikatan-ikatan yang sama yang pada lalu ternyata telah menjerumuskan bangsa ke dalam jurang kelam penuh lumut.
Indonesia (tentu Sumatera Utara) masih harus diperbaharui melalui penyaringan para pemimpin secara lebih ketat. (Harian Global, 26 Maret 2008)