Monday, April 7, 2008

Tokoh-tokoh Politik Lama

Oleh Robinson Sembiring


Dalam politik, kecanggihan strategi dan kepiawaian dalam komunikasi politik mampu menjadikan berbagai kesalahan orang/kelompok di masa lalu menjadi serba relatif. Masyarakat dapat ditelikung dengan relativitas tersebut sehingg menjadi tidak percaya diri, serba salah atau tidak berdaya. Bahkan terkadang harus hanyut untuk menerima dan memaafkan kesalahan tersebut.

Sejujurnya, banyak tokoh atau aktor politik Indonesia saat ini seharusnya merasa malu untuk ikut kembali bermain dalam panggung politik, karena pernah ikut dalam kesalahan rejim orde baru. Namun, kemampuan mereka memposisikan diri berada dalam kesalahan relatif tadi, justru menjadikan mereka tetap merasa terhormat untuk masih ikut ambil bagian dalam proses-proses politik. Kehadiran mereka sebenarnya sudah amat memuakkan khalayak ramai (publik).

Makna Politik

Mengapa mereka masih berjaya dalam arena politik ? Salah satu alasannya terletak pada bagaimana aktor politik dan masyarakat memahami makna politik. Sepanjang pengalaman masyarakat Indonesia dalam berpolitik, jangan-jangan makna politik adalah sama dengan kebohongan, persisnya “royal lie” (kebohongan orang-orang terhormat). Masyarakat Jawa memiliki sebuah konsep khas untuk mengungkapkan hal tersebut yaitu “apus kromo”. Politik mendapat makna seperti itu, karena apa yang paling sering terlihat dalam politik, yaitu ketika orang-orang bicara tentang politik, semuanya tak lebih ibarat berbohong mengiklankan suatu barang/produk tertentu. Iklan yang satu akan mengatakan: Inilah sabun terbaik ! Sementara, iklan yang lain juga mengatakan: Ini sabun terbaik ! Padahal, dalam realitasnya ternyata sabun itu amat boros penggunaanya. Khalayak ramai merasa tidak perlu protes terhadap hal tersebut, karena kebohongan dalam iklan sudah dianggap lazim. Demikian pula halnya ketika suatu kelompok tertentu mengedepankan/menjagokan seorang tokoh, maka anggota-anggota kelompok tersebut akan mengatakan: Dia yang terbaik ! Walaupun untuk itu mereka harus melakonkan sandiwara demi meyakinkan orang banyak. Padahal, sang tokoh yang dimaksud pada masa lalu terlibat dengan sebuah kesalahan besar.

Syahdan, sang tokoh akhirnya terpilih dan sah menjadi pemimpin atau anggota baru dewan legislatif. Aturan perundang-undangan memperbolehkan itu. Dia disambut ramai-ramai, dielu-elukan dan dipuja-puji oleh orang-orang yang benar-benar pemujanya maupun orang-orang yang dibayar untuk memujanya. Semua diliput media massa, dan media massa secara sengaja atau tidak sengaja telah mengaburkan makna ketokohan maupun kebohongan dalam politik. Situasi semacam ini sering terjadi dalam dunia politik, sehingga politik tak lebih dan tak kurang adalah sandiwara, kepura-puraan dan kebohongan. Mereka yang tampil dan melakukannya tak perlu merasa malu, karena semuanya telah menjadi bersifat relatif. Dulu, mereka bisa salah atau keliru. Sekarang, mereka bisa berbuat baik dan beramal, membantu orang-orang yang tertimpa bencana atau mendirikan yayasan sosial. Untuk perbuatan baik ini mereka mendapat kesempatan untuk wawancara yang selanjutnya disiarkan kepada khalayak umum. Penampilan berulang-ulang pada media massa dalam intensitas yang tinggi sering menyebabkan kesalahan masa lalu telah menjadi kesalahan relatif. Dan sebaliknya, kejujuran yang dipertujukkan oleh oleh tokoh yang benar-benar jujur juga telah menjadi kejujuran relatif yang setiap saat bisa diartikan sebagai kebodohan.

Media massa tidak merasa bersalah atas semua perkembangan tersebut. Tugasnya adalah memberitakan apa yang terjadi. Berita yang dijual harus laku agar besok bisa terbit lagi. Masyarakat pun membaca dan mendengar berita, karena mereka membutuhkan berita. Mereka telah terkondisikan menjadi orang-orang yang setiap saat harus mencandra perkembangan yang paling mutahir. Kondisi seperti ini bergulir terus, dan akhirnya sang tokoh dapat melenggang kangkung mencapai tujuannya. Semua menjadi mungkin melalui berbagai peluang yang diperolehnya dengan menggunakan segala macam sumber daya yang dimilikinya. Salah satu sumber daya yang paling sering digunakan adalah uang dan ikatan historis.

Akhirnya, dalam politik seolah-olah tidak perlu bicara kejujuran. Yang diperlukan adalah uang dan kesepakatan. Keduanya dengan mudah dapat dipertukarkan dengan piranti-piranti yang dibutuhkan, termasuk ditukar menjadi ancaman maupun teror. Di TV seringkali muncul tokoh yang ditangkuhkan sebagai pakar berkata-kata bahwa dalam politik tidak penting kejujuran, yang ada adalah strategi (asalkan saja memenuhi persyaratan/prosedur yang ditentukan dalam konstitusi). Segenap strategi dibenarkan selama tidak terperangkap oleh aturan perundang-undangan. Proses-proses politik menjadi tidak perlu menimbang rasa/nilai kemaslahatan publik. Politik adalah macht norming, yakni melulu perjuangan kekuasaan.

Pengertian politik benar-benar telah bergeser dari pengertian yang dikenal dalam kepustakaan ilmu politik. Dalam kepustakaan ilmu politik, politik bukanlah melulu sebagai kegiatan pencapaian kekuasaan, melainkan juga mencakup penggunaan kekuasaan untuk kemaslahatan publik. Sehingga, sekali seseorang telah memperoleh kekuasaan, maka sebenarnya dia juga telah menandatangani hutang berupa kewajiban untuk menggunakannya demi kepentingan masyarakat.

Kegagalan Pejuang Reformasi

Ketidakkompakan elit, dan perpecahan para pejuang reformasi sering dianggap telah menciptakan peluang bagi aktor-aktor politik lama untuk kembali berkiprah lagi. Gerakan kelompok mahasiswa menjadi gerakan tersendiri dan terpisah dari mereka yang dulunya dinyatakan sebagai tokoh reformasi. Bahkan sebahagian telah ditarik kesana kemari melalui “pembelian”. Sangat disayangkan bahwa mereka telah gagal memperjuangkan misi perjuangan “agenda reformasi” dikarenakan berbagai pertimbangan praktis demi meraih kekuasaan. Mereka terkotak-kotak oleh ambisi dan issu yang mereka ingin perjuangkan masing-masing. Upaya memberantas KKN dan pemulihan ekonomi sebagai prasyarat untuk menggapai kemajuan bangsa telah tertinggal begitu saja. Rasa-rasanya, sekarang ini semua pihak masih dirasuki ambisi akan kekuasaan dan uang.

Aktor-aktor politik lama ibaratnya telah menjadi pendekar-pendekar sakti mandraguna dan kaya pengalaman bertanding di lapangan. Mereka memiliki sangat banyak jurus-jurus mematikan dalam kancah pertandingan politik. Mereka juga memiliki emas dan permata yang cukup untuk membiayai segenap piranti yang diperlukan untuk menguasai dunia persilatan politik Indonesia. Disamping itu, mereka juga memiliki pengalaman mengelola organisasi yang lebih baik, sehingga dengan jumawa mampu melakukan terobosan-terobosan. Pada Pemilu yang lalu mereka banyak yang memperoleh suara yang signifikan untuk diangkat sebagai anggota parlemen pusat maupun daerah.

Filter Politik

Perlahan tapi pasti rasanya kita kembali ke masa lalu melalui para pemimpin yang berasal dari masa lalu. Ini seharusnya bukan sebagai pilihan, bahkan seyogyanya dihindari. Jarak calon-calon pemimpin tersebut masih demikian dekat dengan masa lalu, sehingga hubungan-hubungan (kepentingan) lama masih dapat hidup kembali. Filter andalan untuk menghempang kemungkinan tersebut, adalah membangun kesadaran bersama. Namun, perkara membangun kesadaran bersama ini menjadi sesuatu yang amat pelik bagi bangsa Indonesia. Sejak Proklamasi kemerdekaan hingga hari ini, perdebatan terus berlanjut tentang cara mengisi kemerdekaan. Perdebatan panjang itu ternyata tidak menyebabkan perbaikan dalam kualitas keputusan bersama. Apa yang dihadapi Indonesia sekarang ini sebenarnya merupakan cerminan keputusan bersama. Krisis serta kondisi sekarang merupakan cerminan kualitas keputusan bangsa dari masa lalu yang bertali-temali dengan masa lalu.

Agar kondisi ini tidak berlanjut, seharusnya para pemimpin berganti. Teori apa pun yang akan digunakan untuk menjelaskan kondisi Indonesia, suatu hal yang jelas bahwa masyarakat Indonesia ternyata sering dapat berubah jika terdapat pemimpin yang kuat dan mampu mendorong masyarakat. Masyarakat belum terlalu jauh terpisah dengan masa lalunya dengan kecenderungan paternalistik. Pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang secara psikologis dekat dengan masyarakat, pemimpin yang mampu menjadi “Bapak Bangsa”. Kegiatan utamanya adalah memikirkan rakyat, bukan memikirkan partai atau kelompok orang yang telah mengangkatnya.

Pemimpin baru yang dibutuhkan adalah mereka yang tak punya kaitan dengan politik lama dan kesalahan lama, karena jaraknya dengan politik dan kesalahan tersebut belum begitu jauh. Masih terdapat ikatan-ikatan yang sama yang pada lalu ternyata telah menjerumuskan bangsa ke dalam jurang kelam penuh lumut.

Indonesia (tentu Sumatera Utara) masih harus diperbaharui melalui penyaringan para pemimpin secara lebih ketat. (Harian Global, 26 Maret 2008)

Siapakah yang Membangun Negara ?

Oleh Robinson Sembiring

Setiap kali mengamati jalannya proses pemilihan pejabat, dimulai dari ketika mereka menyatakakan diri ikut pemilihan sampai menapaki strategi yang digunakan untuk memenangkan pemilihan, kerap menyeruak keraguan akan komitmennya untuk membangun negara.
Dalam wacana yang berkembang di kedai kopi, sering muncul ungkapan: “Mana ada orang yang niat utamanya membangun negara ketika mengikuti kompetisi perebutan jabatan!”. Ungkapan ini menyakitkan telinga, namun apa hendak dikata jika dalam kenyataannya keyakinan seperti itu berkembang di tengah masyarakat. Dalam kondisi yang sedemikian itu sebuah pertanyaan menggelitik yang sering mengemuka adalah: ”Siapakah yang akan membangun negara ini ?”

Money Politics
Tentu, yang akan membangun negara ini adalah mereka yang memiliki niat untuk mengelola dan membangun negara, serta memperbaiki managemen negara tanpa ambil keuntungan yang lebih dari apa yang menjadi hak sesuai dengan jabatannya. Karena itu, semua orang yang ingin tampil sebagai calon pemimpin seharusnya bertanya kepada diri sendiri: “Apakah yang saya cari dalam memperebutkan jabatan ?” Jika jawabannya positif, dalam arti bahwa dia berniat membangun negara dan patuh terhadap sumpah jabatan, maka merekalah yang perlu memacu diri untuk tampil sebagai calon.
Mereka yang tidak berani secara tegas menyatakan dirinya tampil untuk membangun dan menaati sumpah jabatan sebaiknya segera mengurungkan niatnya untuk menjadi calon. Rasanya tidak argumentatif jika mereka menyatakan niat membangun negara namun terlebih dahulu telah membelanjakan uang hingga bermilyar-milyar rupiah untuk jabatan yang diincarnya. Belum ada jaminan bahwa biaya yang telah dikeluarkan memastikan ia memperoleh jabatan, karena calon lain juga memiliki peluang untuk memenangkan perebutan. Akan lebih argumentatif jika uang yang telah dimiliki, langsung digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan nyata yang dibutuhkan masyarakat. Ia dapat menunjukkan darma baktinya bagi negeri melalui kegiatan-kegiatan tersebut tanpa harus menjadi pejabat terlebih dahulu. Ia bahkan akan lebih bermartabat daripada pejabat.
Mari sejenak dicermati bersama. Saat ini tidak akan ada yang percaya bahwa si “A” telah memperoleh jabatan tanpa mengeluarkan uang. Kebanyakan orang akan lebih percaya, bahwa ia telah mendapatkan jabatannya sebab telah mengeluarkan uang senilai “harga pasar” jabatan yang berlaku saat ini. Kebanyakan orang juga akan lebih percaya bahwa seseorang bisa menjadi pejabat setelah membeli ini-itu termasuk membeli dukungan. Ungkapan populernya, dia harus melakukan money politics.
Sayangnya, masyarakat pun cenderung bersikap mendukung sepak-terjang para pembeli jabatan dalam mendapatkan jabatannya. Banyak anggota masyarakat suka rela mendukung seseorang hanya karena dibayar atau dimasukkan kedalam team sukses. Posisi sebagai anggota team sukses telah menjadi kebanggaan di tengah masyarakat. Apalagi, calon yang didukung memenangkan pemilihan. Bahkan pernah ada orang dari Jakarta yang berani mengiklankan diri sebagai orang yang paling sering memenangkan calon dalam pemilihan jabatan, tanpa bicara tentang komitmen pembangunan dari calon yang dimenangkan. Pemenangan pemilihan telah menjadi ajang bisnis, bukannya sebagai ajang olah idealisme untuk memilih orang yang kompeten dan memiliki komitmen membangun negara.
Sementara itu, dari sisi masyarakat umum apa sebenarnya yang diharapkan dari seorang calon gubernur, bupati atau walikota ? Amat mengherankan, ternyata banyak anggota masyarakat bahkan bersedia menyediakan waktu berjam-jam mengikuti segala macam acara TV yang isi perbincangannya melulu mengobral janji-janji mulia para calon pejabat yang berdasarkan pengalaman pasti tidak akan dipenuhi setelah mendapatkan jabatan tersebut ? Apakah mereka masih menggantungkan harapan pada sosok yang tidak akan melaksanakan janji-janjinya melainkan mencari uang untuk mengganti uang pembelian jabatan ? Dari debat calon Gubsu yang diselenggarakan salah satu harian di Medan, bahkan ada yang mengaku terus terang bahwa dia mengincar jabatan karena ingin mengumpulkan uang untuk dibagi-bagi kepada banyak orang.

Kemenduaan
Masyarakat sebenarnya sangat gundah-gulana dengan kehadiran “penunggang-penunggang jabatan”. Namun, mereka tidak punya daya untuk menghempangnya. Rasa percaya diri pun telah kian menipis, sehingga pikiran alternatif yang timbul adalah keinginan untuk memanfaatkan calon pemangku jabatan. Sering terdengar perkataan: “Terima uangnya, jangan pilih orangnya!”. Dengan pemikiran seperti ini, lantas mau pilih siapa ?
Dengan jelas telah tampak ambiguitas pada masyarakat. Padahal, negara ini tidak akan mungkin dapat berubah jika masyarakatnya bersifat mendua. Masyarakat yang bersifat mendua tidak bisa bekerja dan bergerak effektif karena mereka tidak memiliki komitmen atas nilai, prosedur dan target. Berdasarkan pengalaman, sifat mendua ini telah menjadikan usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia tidak mengalami kemajuan yang berarti. Begitu banyak orang yang berani berteriak membela para pejabat koruptor dengan alasan uang yang diambil toh digunakan untuk orang banyak. Padahal semua tahu bahwa selama praktek korupsi masih berjalan, maka selama itu pula usaha-usaha pembangunan tidak akan pernah mengubah perangai, apalagi kesejahteraan seluruh masyarakat.
Jika harus ditanyakan lagi: Siapakah yang membangun negara ? Kelihatannya jawaban menggantung di angkasa. Sekarang ini, Indonesia sedang menjalani masa-masa yang menggantung ini. Masyarakat kian kesulitan mencari figur ideal. Disamping itu, sulit pula menemukan kelompok yang jelas dan konsisten masih bekerja untuk membangun negara.
Kelihatannya, inilah saat-saat genting dimana para tokoh, pemikir dan pekerja masyarakat perlu tampil mendorong masyarakat untuk menyadari situasi, serta menyadari seluruh kerugian yang akan dihadapi bangsa ini jika pejabat kian sulit dibedakan dengan penjahat (walau ada juga yang menyebutnya sebagai maling budiman)... (Harian Global, 19 Maret 2008)