Saturday, November 10, 2007

Menatap Yogya dari atas Roda-roda

Setelah Yogyakarta saya tinggalkan sejak tahun 1986, pada akhir bulan Maret 2004 ini saya kembali mengunjungi Yogyakarta dalam rangka mengikuti acara Workshop Policy Analysis yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan dan Kebijakan UGM. Selama dua pekan di sini, saya mencatat berbagai perubahan yang terlihat berdasarkan pengalaman berkenderaan menyusuri jalanan Kota Yogyakarta yang Berhati Nyaman.
Delapan belas tahun yang lalu, seorang tetangga di Bintaran menyanyikan sebuah lagu dengan dua baris dari lyricnya yang masih saya ingat:
“Yogyakarta kau ramah tapi kejam,
Kau lembut tapi berbisa…dst”
Ternyata Yogyakarta telah berubah. Tidak seperti liric yang dikumandangkan teman itu. Beberapa perubahan itu saya candra dengan mengendarai bus, mobil pribadi dan sepeda motor. Dari atas roda-roda kendaran tersebut saya melintas diseputar Yogyakarta; ngalor-ngidul dan ngulon-ngetan.

Tak Lagi Ramah
Seorang teman yang sesama alumni UGM namun telah bermukim kembali selama 4 tahun ini di Yogyakarta, saya ajak berjalan-jalan sambil bernostalgia mengenang masa-masa lalu semasih menjadi mahasiswa. Kesan awal adalah lalu lintas Yogyakarta tak lagi ramah dan mulai serasa mengancam. Deru tarikan gas sepeda motor yang bergerak seperti berlomba setiap kali dapat membuat kita tersentak. Dari atas bus dan mobil pribadi, sentakan suara tarikan gas tersebut tidak terasa. Namun, jika mengendarai sepeda motor we lha. Kemungkinan, itu yang menyebabkan mengapa masyarakat Yogyakarta sekarang ini lebih tergoda untuk memiliki mobil pribadi.
Temanku menyatakan pandangannya, jika berkendaraan merupakan wujud kebudayaan maka gaya berkendaraan yang mode sekarang ini bukan merupakan bagian perwujudan kebudayaan atau kultur Jawa. Apalagi kebudayaan segi-tiga emas Jawa (Yogyakarta-Solo-Semarang) yang terkenal ramah dan santun penuh unggah-ungguh. Jika lalu-lintas mulai tak ramah, maka itu sebagian besar sumbangan pelajar/mahasiswa pendatang dari seluruh Nusantara yang sekaligus juga ikut menyumbang terhadap geliat ekonomi masyarakat. Jadi, Yogyakarta menerima tumpahan yang besifat positif maupun negatif. Untuk tumpahan yang bersifat negatif, Yogyakarta menjadi semacam “keranjang sampah” menerima perilaku-perilaku buruk yang dibawa para pendatang. Perilaku positif maupun negatif bentukan baru hasil interaksi antar sesama pendatang maupun antara pendatang dengan masyarakat setempat juga akan tinggal dan menjadi warna baru Yogyakarta. Untuk hal ini diuji kemampuan kultur Yogyakarta yang pada hakekatnya memiliki daya tahan sekaligus daya adaptasi terhadap setiap unsur yang berbau asing.
Dalam berlalu-lintas daya tahan budaya Jawa ternyata tidak sekuat daya tahannya dalam hal berbahasa, bertata-krama dan menjaga wibawa. Gejala tersebut sekaligus menandai bahwa desakan pengaruh luar ternyata teramat sulit dihempang, walau dalam berbagai hal lain Yogyakarta masih lebih ramah dari kota-kota besar lainnya di Indonesia. Gaya layanan dan tarif produk khas Yogyakarta, seperti makan gudeg lesehan di Malioboro, makanan untuk oleh-oleh dan beberapa produk kerajinan tangan telah mulai bergaya “berorientasi eksport”, bertarif kualitas eksport, dengan harga yang lebih mahal pula. Ini juga merupakan bagian dari ketidakramahan Yogyakarta masa kini. Keramahan dan kemurahan masa lalu telah mulai berubah menjadi cenderung bersemangat lomba memupuk keuntungan ala kapitalis global.
Adakah yang salah dengan perkembangan tersebut ? Tentu saja tidak. Semuanya itu menjadi gejala umum di perkotaan besar, termasuk berbagai ekses lain seperti perjudian, komersialisasi seks dan kejahatan/kerawanan keamanan. Namun, Yogyakarta sebagai gudang kaum arif dan intelektual harus mampu menghindar dari gejala umum yang merugikan tersebut, sehingga tetap sebagai tempat yang unik dan menggoda hati untuk mengunjunginya.

Masih Lembut Tapi Berbisa
Soal kelembutan, Yogyakarta masih tetap lembut pada lingkungan kampung. Namun cenderung berbisa seperti layaknya kota besar lain, pada lingkungan jalan raya. Dari salah satu hotel saya saksikan keluar seratusan anak muda dengan menaiki sepeda motor. Dari orang-orang sekitar, saya dapat info bahwa anak-anak muda tersebut baru selesai menghadiri pesta temannya yang merayakan hari ulang tahun di hotel. Wah, ini juga sesuatu yang teramat jarang terdengar di masa lalu. Apalagi penampilan para anak muda yang lumayan mirip dengan anak muda pada cerita film western. Raungan mesin sepeda motor yang digas kuat-kuat, riuh rendah terdengar memekakkan telinga. Tapi toh semua itu belum sebegitu mengkuatirkan dibandingkan dengan kota-kota besar lain seperti Jakarta, Surabaya, Semarang atau Medan.
Saya juga dengar bahwa kenakalan remaja juga telah meningkat dengan munculnya gang remaja belia yang sering terlibat tawuran. Gejala ini malahan telah menumbuhkan kekuatiran pada kalangan mahasiswa yang termasuk kelompok tekun belajar. Mereka menganggap kenyamanan Yogyakarta sebagai kota tempat menuntut ilmu kian terancam. Kini niat untuk bersantai sambil mengingat-ingat pelajaran di pinggir jalan seusai belajar keras di rumah kost kian padam. Kuatir terseret tawuran secara tidak sengaja.
Turun dari Pakem menuju Yogyakarta, kami nyelusup-nyelusup melalui perkampungan yang pada masa lalu jalannya masih belum beraspal. Namun, kini jalan-jalan yang dilalui seluruhnya telah beraspal, dan rumah-rumah di sepanjang jalan seperti tiba-tiba tumplek bheg muncul. Siapa yang bermukim di rumah-rumah yang baru maupun kompleks perumahan yang muncul ibarat jamur tersebut ? Dari teman, saya dapat info tidak hanya di wilayah menuju Kaliurang saja, melainkan hampir di seluruh wilayah kota Yogyakarta (kecuali di sekitar Piyungan) pemukiman berkembang pesat. Pemukim baru itu umumnya adalah para pendatang/mahasiswa, mereka yang membuka usaha melayani kebutuhan mahasiswa, mereka yang berusaha mereguk keuntungan dari sektor bisnis properti dan mereka yang berniat menjalani pensiun di Yogyakarta.
Barangkali ada benarnya, Yogyakarta beranjak menuju metropolitan disertai dengan segenap penyakit masyarakat kota metropolitan di Indonesia. (Baca Tulisan Adde Marup Wirasenjaya, Kompas Edisi Jateng & Yogyakarta, 5 Maret 2004) Gejala ini yang menimbulkan kekuatiran, yakni Yogyakarta lebih banyak bisanya daripada lembutnya.
Mungkin saya harus mengurungkan niat untuk mengirim anak melanjutkan sekolah di kota yang kian berbisa. Dan, mudah-mudahan tidak banyak anggota masyarakat Indonesia yang pasang ancang-ancang seperti itu.
Harus Tetap Ramah dan LembutDua hal penting daya tarik Yogyakarta adalah pendidikan dan pariwisata. Aspek lainnya lebih merupakan hasil spread effect dari kedua kegiatan tersebut. Yang menjadi persoalan adalah agar bidang-bidang yang tumbuh sebagai forward dan backward effect tidak justru menghancurkan kedua bidang utama di atas. Gejala meningkatnya biaya hidup sebagai akibat peningkatan harga-harga sewa kost maupun makanan sehari-hari, peningkatan biaya pendidikan secara tajam, peningkatan kemacetan lalu lintas, peningkatan kriminalitas, peningkatan ketidakramahan dan ketidaklembutan masyarakat harus dicermati sejak dini. Yogyakarta harus tetap ramah dan lembut untuk menjadikannya sebagai kota yang paling ingin didatangi oleh pelajar maupun pelancong. Pemerintah Daerah kelihatannya cukup tanggap mengantisipasi masalah-masalah tersebut pada tingkat wacana. Namun tentu tidak layak jika hanya berhenti pada wacana. Langkah-langkah berikutnya adalah tindakan. Menata Yogyakarta agar tetap nyaman dan menjadikan orang yang pernah tinggal untuk tetap ingin kembali berkunjung, melanjutkan studi atau mengirim anaknya untuk studi.

Masyarakat Harus Ikut Bicara !

INILAH bagian dari wajah baru Indonesia, sebuah wajah yang sebenarnya tidak disukai sebagian besar rakyat Indonesia. Selama setahun terakhir, rakyat harus "capek" menonton pertunjukan permainan panggung kaum elite memainkan peranannya dalam lakon dendam politik. Rakyat banyak yang sebagian besar hanya berlakon sebagai penonton yang diam seribu bahasa dan melalui berbagai proses selanjutnya seolah-olah mengamini berlangsungnya lakon dendam tersebut.Saat-saat terakhir ini rakyat Indonesia seolah-olah telah kehilangan kendali atas proses-proses politik yang berlangsung di Jakarta. Pilihan atas situasi kian dipersempit menjadi hanya satu pilihan, yaitu: mendukung lengsernya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atau ikut dalam pertikaian besar pembelaan bangsa menjadi massa pro Gus Dur atau massa anti Gus Dur.
Tulisan ini ingin menyatakan bahwa (rakyat) Indonesia telah terlanjur hanyut terbawa gelombang pertikaian politik yang sebenarnya tidak diinginkan. Namun, karena elite politik telah membuka tanggul pertikaian tersebut, maka ibarat air, pertikaian tidak dapat dikembalikan ke tempat semula bahkan mengalir deras menghanyutkan semua yang ada di dalamnya. Pada masa depan, untuk menghindari peristiwa yang sama sudah saatnya rakyat harus bicara, harus aktif menghempang setiap upaya awal yang dapat menghanyutkan negeri ini.

Tuak baru dalam guci tua
Gerakan reformasi sebenarnya telah gagal sejak dini, ketika dalam pembentukan pemerintahan yang baru para pelopor gerakan reformasi gagal mengeliminasikan pengaruh-pengaruh serta orang-orang rezim Orde Baru. Semua orang akan sepakat untuk menyatakan bahwa "orang-orang" Orde Baru amat berkepentingan dengan "sistem" pemerintahan yang "lama".
Ketika mereka dengan caranya ternyata masih "harus" diterima ikut manggung dalam pentas perpolitikan negeri ini, dengan sekuat tenaga mereka menjaga tatanan harus yang berkaitan langsung dengan kepentingannya. Sebaliknya orang-orang "baru" dikarenakan kelemahan-kelemahannya harus beradaptasi dengan tata cara "lama".
Kelemahan-kelemahan ini terus berlanjut hingga hari ini tanpa upaya-upaya yang serius untuk memperbaikinya. Bahkan untuk mengungkapkannya saja tidak ada orang yang begitu perduli. Lantas segenap bangsa ini hanya hanyut oleh arus besar itu.
Mengikuti pandangan Arnold J Toynbee, para creative minorities bangsa ini kehabisan energi untuk beradaptasi serta tidak memiliki energi sisa untuk menciptakan dan memulai peradaban baru. Toynbee menggambarkan kondisi tersebut sebagai "Tuak Baru dalam Guci Tua".
Ciri utama kondisi ini adalah kemandulan sosial (social enormity), yaitu sebuah kondisi di mana suatu masyarakat benar-benar kehabisan energi dan tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang mereka hadapi. Kondisi ini akan diperburuk lagi oleh cuaca "mabuk kemenangan" di mana kelompok-kelompok baru yang telah berhasil menggulingkan kekuatan-kekuatan lama mulai bersikap ingin merasakan nikmat atas keberhasilan mereka. Tantangan-tantangan baru mengalir begitu saja, sementara mereka sibuk berbagai jatah atas keberhasilan mereka.
Kompromi-kompromi politik yang demikian banyak diciptakan sebagai wacana selepas masa pemerintahan BJ Habibie sebenarnya lebih pas dipandang sebagai cuaca "mabuk kemenangan" tersebut.
Dalam pentas politik Indonesia saat ini, dapat disaksikan betapa kelompok Poros Tengah, kelompok PDI Perjuangan, kelompok Partai Kebangkitan Bangsa merupakan kekuatan-kekuatan baru yang selanjutnya harus takluk pada kondisi kompromi dengan kelompok Golkar bersama dengan kelompok-kelompok binaannya.
Jika dilihat dari sajian televisi, koran dan majalah yang setiap hari menjadi santapan bangsa Indonesia, Ketua Umum Partai Golkar telah kembali menjadi tokoh politik yang penting dan paling jumawa dalam memainkan perannya. Hal ini dikarenakan, mereka telah berhasil menampilkan kembali gaya, strategi, dan tatanan lama menjadi bingkai setiap orang untuk menilai proses-proses yang terjadi belakangan ini.
Dalam wacana politik yang terbaru, bukankah kata-kata "sesuai, sejalan dan sah menurut konstitusi" telah kian biasa digunakan? Bukankah tafsir terhadap konstitusi sebagai mana yang sering diungkapkan kembali meniru gaya lama?
Menyadari "kondisi" ini, maka menjadi sangat penting saat ini, sebelum masyarakat hanyut semakin jauh. Sangat perlu diantisipasi dan dihindari berlangsungnya kondisi di mana masyarakat seolah-olah merasa bahwa gerakan reformasi telah menghancurkan negara serta menjadikan rakyat menderita berkepanjangan.

Masyarakat diam
Yang mencolok dari situasi di atas bahwa mereka yang berbicara dan akhirnya bertengkar adalah orang-orang yang berada di Jakarta. Ketenangan dan kedamaian Indonesia seolah-olah tergantung pada mereka. Padahal Indonesia demikian luasnya dan bukan hanya Jakarta. Terasa tidak adil, jika pertengkaran di Jakarta akhirnya harus menjadi beban segenap masyarakat Indonesia.
Pada masa lalu, ada ilmuwan politik yang menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung sebagai masyarakat "diam". Proses-proses politik sepenuhnya hanya berlangsung dan dikendalikan sekelompok kecil elite. Kondisi ini adalah hasil rekayasa rezim yang berkuasa yang otoriter, untuk melanggengkan kekuasaan rezim tersebut menjadikan proses politik sebagai suatu proses "berbahaya" dan tidak perlu didekati oleh masyarakat.
Namun, ketika rezim lama telah dilengserkan, demokratisasi telah dicanangkan sebagai salah satu tujuan. Sehingga, amat disayangkan jika di tengah perjalanan menuju demokratisasi, masyarakat justru tetap tidak ikut ambil bagian dalam menentukan wajah baru negara Indonesia.
Amat disayangkan, jika dalam proses politik, yang terjadi adalah politik partai yaitu proses-proses politik yang sepenuhnya dikuasai oleh partai-partai dan hanya untuk diperjuangkan kepentingan partai politik.
Jika diperhatikan secara seksama, maka gelombang demonstrasi massa yang demikian sering terjadi pada era reformasi belum menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai berbicara menyatakan keinginannya. Terlalu banyak informasi yang menyatakan bahwa demonstrasi-demonstrasi lebih sering terjadi karena digerakkan oleh kaum elite di pusat untuk kepentingan mereka. Rakyat yang turut serta berdemonstrasi lebih dikarenakan mendapat upah untuk sesuap nasi. Anggota masyarakat sebenarnya lebih dieksploitasi akibat kelemahan mereka secara ekonomis ketimbang dididik agar lebih mampu berbicara atas nama kepentingannya.

Pemimpin di daerah harus bicara
Jika disepakati bahwa konflik antarkaum elite di pusat telah menyebabkan masyarakat menghadapi masalah-masalah ketidakpastian dalam hal keamanan, dimiskinkan oleh peningkatan kurs dollar AS, maka perlu disepakati pula agar masyarakat pun perlu "terjun" untuk ikut ambil bagian dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Pemimpin di daerah semestinya tidak diam seribu bahasa seperti yang terjadi selama ini. Sebaliknya, mereka mesti ikut aktif menawarkan alternatif-alternatif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi para elite di Jakarta.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah para gubernur di daerah perlu membuat kesepakatan atas keprihatinan yang terjadi. Jika perlu, bisa ditambah lagi dengan kesekapatan oleh para bupati. Intinya adalah bahwa berbagai suara yang menyatakan agar elite pusat menghentikan pertikaiannya, diangkat oleh pemimpin daerah tersebut.
Perlu pula dinyatakan oleh mereka bahwa pertikaian kaum elite pusat sedikit pun tidak menyentuh kepentingan langsung masyarakat di daerah dalam memperbaiki situasi keterpurukan ekonomi yang sedang dihadapi.
Para pemikir yang banyak diberikan kepercayaan untuk menyatakan pendapatnya melalui media massa juga harus memberikan apresiasi atas kesepakatan yang mungkin terbentuk oleh para pemimpin daerah. Sebab diakui atau tidak, kondisi yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini juga ikut diperkeruh oleh para pemikir yang cenderung tidak mampu memberikan paradigma baru dalam mengevaluasi permasalahan yang timbul. Kecenderungannya selama ini mereka malah menyeret masyarakat pada suatu paradigma seragam bahwa masalah bangsa Indonesia saat ini adalah karena Gus Dur. Dan seolah-olah masalah yang timbul hanya bisa diselesaikan oleh para elite yang ada di pusat tanpa menyertakan para pemimpin daerah.
Para pemimpin daerah juga memiliki kekuatan pemaksa jika mereka bersedia menggunakannya. Bukankah para pemimpin daerah setiap saat dapat menyatakan bahwa mereka melepaskan diri dari koordinasi pemerintah pusat sampai mereka mampu menyelesaikan pertikaiannya?
Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada hari Selasa 29 Mei 2001, bahkan telah menyatakan daerahnya terlarang bagi elite politik dan antek-anteknya yang ingin meletupkan keinginan kepentingannya di depan massa (Kompas, 30 Mei 2001, hlm 6). Ini merupakan salah satu sikap yang dapat ditunjukkan oleh para pemimpin daerah untuk membela kepentingan daerahnya.
Akhirnya kesepakatan apa pun yang dihasilkan oleh para pemimpin harus senantiasa mendasarkan kepentingan tersebut pada sebuah pertimbangan utama, yaitu bahwa masyarakat sudah sangat memerlukan perbaikan dalam bidang ekonomi, dan sudah sangat bosan dengan potensi ancaman keamanan yang pada gilirannya akan dapat meledakkan perlawanan terhadap kaum elite.