Banyak diantara warga Melayu yang tinggal di Deli Serdang dan
Langkat jika ditanyakan tentang nenek-moyang dan asal-usulnya akan menyatakan
bahwa nenek moyang dan asal-usul mereka berasal Karo. Beberapa diantara mereka
bahkan secara persis dapat menyebut cabang marga mereka sebagai salah satu
diantara 5 marga masyarakat Karo, yakni: Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring,
Ginting dan Tarigan. Kenyataan ini menjadi suatu petunjuk bahwa orang Karo
bukan hanya meliputi mereka yang masih mengenakan marga (Karo) atau tinggal di
dataran tinggi Karo. Ada
berbagai informasi yang menunjukkan
bahwa orang Karo bahkan juga menyebar ke daerah lainnya seperti Samosir,
Asahan, Simalungun, Pakpak bahkan hingga ke Aceh.
Belakangan ini, saya membaca kembali sebuah buku yang berjudul: Sejarah Batak Karo, Sebuah Sumbangan
yang ditulis oleh J.H, Neumann. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Bhratara, Jakarta pada tahun 1972.
Buku ini merupakan buku terjemahan dari artikel berbahasa Belanda dengan judul:
Bijdrage Geschiedenis van de Karo-Batakstammen
yang dimuat dalam majalah Bijdragen tot
de taal-, Land-en Volkenkunde, LXXXII (1926: hlm 1 – 36) dan LXXXIII (1927:
hlm 162 – 180).
Pada kata pengantar yang ditulis oleh Koentjaraningrat disebutkan: “
…Neumann berkesimpulan bahwa daerah asli
dari orang Karo di Dataran Tinggi Karo, mula-mula didiami oleh suatu
suku-bangsa, yang rupa-rupanya juga tersebar sampai jauh ke Selatan ialah
daerah Samosir dan Asahan”. Kesimpulan ini setidak-tidaknya dapat
menunjukkan adanya fenomena migrasi orang Karo keluar dari Dataran Tinggi yang
pada gilirannya memberikan kesempatan bagi mereka untuk berinteraksi dan
berasimilasi dengan suku dan masyarakat lainnya.
Sayangnya, banyak fakta yang hilang dari catatan, yang telah
menyebabkan kita tidak memiliki informasi yang cukup untuk menggambarkan
bagaimana perjalanan orang Karo di wilayah lain, yang sekaligus juga
menyebabkan kaburnya pemahaman kita tentang “apa dan bagaimana”nya kehidupan
orang Karo ketika berada di wilayah lain serta “apa dan bagaimana”nya interaksi
mereka dengan masyarakat lain.
Padahal, pemahaman tentang interaksi antar suku ini sedemikian
pentingnya mengingat bahwa bangsa Indonesia adalah multi etnis,
beraneka ragam golongan serta agama yang sering berpotensi konflik. Pemahaman
tentang interaksi ini akan sangat bermanfaat dalam membentuk cross-culture affiliation yang mampu
meredam sejak dini peluang konflik antar etnik, setidak-tidaknya di Sumatera
bagian Utara yang juga dikatakan sebagai wilayah multi etnik.
Kaitan dengan Kerajaan Pagaruyung
Kerajaan Pagaruyung ternyata memiliki kedekatan tertentu dengan
orang Karo. Sebuah buku “pustaka”, yakni “Pustaka Kembaren” mencatat kedekatan
tersebut. Sekedar catatan singkat mengenai buku ini: salinan dari buku ini yang
ditulis dengan huruf Karo pada kulit kayu diperoleh oleh J.H. Neumann dari
seseorang yang bernama Pa Belat yang bekerja di wilayah Langkat Atas. Buku itu
sendiri sebelumnya dimiliki oleh penghulu Sapo Padang, sebuah kampung yang
terletak di Langkat Atas dengan lama perjalanan kira-kira sehari berjalan kaki
ke arah atas Bohorok.
Pada bagian awal pustaka tersebut dituliskan dengan jelas bahwa
asal-usul marga Kembaren adalah Kerajaan Pagaruyung. Disebutkan dalam postaka
tersebut: “Lit me ndube anak Pagaruyung
dua sembuyak, dua nandena: sintua tading i Pagaruyung, singuda lawes
engkeleweti pulau Perca enda” (Dahulu ada orang-orang Pagaruyung, dua orang
laki-laki kakak beradik yang berlainan ibunya. Yang sulung tinggal di
Pagaruyung, sedangkan yang bungsu merantau mengelilingi Sumatera).
Berdasarkan informasi tersebut maka dapat dicatat bahwa mereka yang
bermarga Kembaren memiliki hubungan saudara seayah dengan seseorang di Kerajaan
Pagaruyung. Mengapa Pagaruyung disebut sebagai kerajaan? Karena disebutkan
bahwa sibungsu yang melakukan perjalanan merantau mengelilingi Sumatera
dibekali dengan sebuah tanda yaitu cap
kerajaan dan pisau kerajaan
(dengan sebutan: piso bala bari ).
Hari ini, kita melihat bahwa hampir tidak pernah mengemuka lagi
informasi tentang kedekatan kedua masyarakat ini. Orang Karo juga hampir-hampir
tidak memiliki sama sekali informasi tentang hubungan kedua etnik ini, sehingga
dalam pembicaraan sehari-hari, hampir tidak pernah disinggung oleh kebanyakan
orang Karo maupun orang Pagaruyung dari Sumatera Barat. Bahkan hingga hari ini
juga tidak ada sejarawan mencoba melacak kaitan kedua suku ini. Hubungan antara
keduanya seolah-oleh begitu saja hilang ditelan zaman.
Disamping info tentang nama Pagaruyung, dalam buku pustaka tersebut
juga disinggung tentang kerajaan lain yang disebut sebagai Kuala Ayer Batu,
sebagai tempat asal-usul salah seorang isteri dari nenk moyang marga Kembaren,
disamping 6 (enam) isteri lainnya yang berasal dari Makkah (Mekkah atau
Malaka?).
Kaitan
dengan Kerajaan Siak
Kerajaan Siak juga ternyata memiliki
kedekatan dengan orang Karo. Berdasarkan upaya J.H. Neumann melacak asal-usul
dan penyebaran orang Karo melalui tradisi lisan folklore, diperoleh informasi
tentang hubungan dekat antara orang yang bemarga Tarigan dengan kerajaan Siak.
Seorang tokoh marga Tarigan yang bernama (salah satu dari nama berikut): Nuan
Kata/Onan Katana/Nongon Kata/Ngenan Kata, semula bermukim di Kuala, kemudian
berpindah ke Padang Sambo, dan selanjutnya ke Sugo, dan pindah lagi ke Ale Deli
dan terakhir berlayar ke Sait dan tempat itu didudukinya. Nama ini diganti
dengan Siak.
Setelah menjadi penguasa di Siak,
disebutkan pula bahwa dia pernah mengirim surat
dan sebilah pisau kepada Sibayak Sungai Siput. Perlu dicatat bahwa Sibayak
Sungai Siput ini adalah nenek moyang Sibayak Kabanjahe: Pa Mbelgah dan Pa
Pelita. Dalam ingatan J.H. Neumann, Pa Pelita pernah mengatakan bahwa dia
memiliki hubungan keluarga dengan Sultan dari Siak.
Informasi di atas demikian
singkatnya, sehingga sedemikian mudah pula hilang dari ingatan mereka yang
bermarga Tarigan. Sama dengan cerita tentang hilangnya nama Pagaruyung dari
perbincangan sejarah marga Sembiring Kembaren, maka ternyata nama Siak juga
hampir tidak pernah disinggung lagi oleh komunitas bermarga Tarigan di Tanah
Karo.
Sejarah kelihatannya memang telah dianggap
menjadi sesuatu yang beku karena all that
have happenend dan final…