Pada sebuah akhir pekan beberapa
minggu yang lalu, selama 3 jam terasa terpenjara oleh kemacetan lalu-lintas
pada ruas jalan Medan-Berastagi di wilayah Bandar Baru, Deli Serdang. Tubrukan
antara sebuah bus besar dengan sebuah truk telah menyebabkan arus lalu-lintas
harus terhenti total, sebab bus besar yang mengalami kecelakaan tersebut jatuh
terlentang melintang di jalan. Segera terbentuk antrian panjang seperti ular
mengikuti jalur jalan sepanjang Sibolangit hingga Penatapen, desa Daulu, Tanah
Karo.
Antrian ini segera diperburuk oleh
tindakan segerombolan pengemudi mengisi jalur kanan membentuk lapis dua barisan
yang antri dari kedua jalur yang berlawanan dari arah Medan dengan dari arah
Berastagi. Tentu saja segera perjalanan dari kedua arah menghadapi kebuntuan
alias macet total karena dua baris kenderaan dari Medan saling berhadapan
dengan dua baris kenderaan dari arah Berastagi!
Kemacetan yang Sulit Diurai
Kemacetan itu menjadi sedemikian sulit
diuraikan oleh karena perilaku sekelompok pengendara yang tidak mengabaikan
kepentingan pengendara lainnya dengan menempatkan kenderaannya pada jalur kanan
yang tentu saja akan berhadapan dengan pengendara jalur kiri dari arah
berlawanan. Kondisi seperti ini dalam tulisan ini digambarkan sebagai kemacetan
karena “lapis dua”. Tergantung lebar jalan, adakalanya bisa terbentuk lapis
ketiga bahkan lapis keempat! Para pengendara yang patuh mengambil jalur kiri
sebagai lapis satu, dan para pengendara pelanggar peraturan adalah kelompok
pengemudi yang mengambil jalur kanan sebagai lapis dua. Dalam kondisi seperti
ini, yang paling dirugikan adalah kelompok pengendara yang bersikap patuh
terhadap peraturan lalulintas. Dalam kondisi ini, berlaku prinsip: Patuh
peraturan berarti tertinggal! Kemacetan total terjadi, dan kelompok pengendara
tidak patuh siap-sedia pasang ancang-ancang untuk segera mencuri kesempatan
ketika kemacetan akan diuraikan oleh petugas.
Kemacetan yang panjang tersebut
sebenarnya tidak perlu memakan waktu yang sedemikian lama, karena dalam waktu
sejam mobil derek telah datang segera
menuju lokasi tubrukan untuk menggelandang kedua kenderaan yang terlibat
tubrukan. Namun, segera muncul masalah baru karena antrian segera berlapis dua
dari arah Medan maupun dari arah Berastagi yang tentu menyebabkan arus
lalu-lintas mengalami kebuntuan dari kedua arah, karena jalur kiri dan kanan
jalan segera tertutup oleh onggokan mobil pribadi dan mobil umum yang tidak
bersedia antrian untuk masing-masing mengambil jalur kiri.
Mobil
derek tidak bisa memasuki area terjadinya kecelakaan. Sepasukan petugas dari
kepolisian segera harus mengambil tindakan untuk menertibkan semua kenderaan
yang telah menempati jalur kanan dari kedua arah yang berlawanan. Seluruh
kenderaan tersebut harus digeser dari badan jalan ke beram jalan agar tersedia jalur masuk bagi mobil derek.
Kultur
Berlalulintas
Mengamati proses penertiban
tersebut, menyeruak sebuah renungan tentang perilaku berlalu-lintas di daerah
kita yang tercinta ini. Perilaku berlalu-lintas kita boleh terbilang pada
kategori mirip anarkisme.
Selama proses menunggu kehadiran
mobil derek, betapa meresahkan melihat serombongan kenderaan dengan kecepatan
tinggi segera mengisi jalur kanan dengan berharap ketika terjadi terjadi
kebuntuan di depan, maka mau tidak mau mereka yang mengisi jalur kiri harus
mengalah menyediakan tempat bagi mereka. Walau dengan perasaan mengkal, para
pengendara jalur kiri akhirnya harus maju atau mundur untuk menyediakan tempat
menyingkir bagi pengendara jalur kanan. Betapa cerdas dan liciknya
pengendara-pengendara jalur kanan tersebut! Berkat terjadinya kebuntuan, mereka
memiliki kesempatan mendahului pengendara jalur kiri yang telah antri untuk
waktu yang lama. Masa antrian jadi bertambah bagi para pengemudi jalur kiri,
sebab kesempatan yang mereka tunggu telah diambil oleh serombongan pengemudi
jalur kanan yang panjangnya menyamai panjang antrian jalur kiri.
Itu merupakan gambaran perilaku
berlalulintas yang sepertinya kian membudaya dikalangan pengguna jalan raya di
daerah kita. Sedikit pun tidak ada rasa segan dan rasa malu untuk “merampok”
kesempatan orang lain menjadi kesempatan diri sendiri. Makna jalan raya (jalan
umum) menjadi sangat kabur jika dihadapkan dengan perilaku tak tau malu
tersebut. Jalan seolah-olah adalah milik para para perampok tersebut. Jika ada
yang memprotes tidak jarang dapat mengakibatkan terjadinya percekcokan mulut
hingga perkelahian. Para perampok seenaknya tanpa perasaan bersalah berani
bertekak melawan setiap orang yang protes terhadapnya. Yang paling memiriskan
hati, sangat banyak diantaranya perampok-perampok tersebut justru menggunakan
mobil mewah pribadi yang jika dilihat dari penampilannya adalah orang-orang
“bergengsi” dan berpendidikan tinggi.
Kultur Hukum
Dalam situasi tersebut, secara
kasat mata dapat disaksikan bagaimana proses pelanggaran hukum telah
berlangsung ditengah-tengah ketidakberdayaan penegak hukum melindungi
kepentingan publik maupun ketidakberdayaan publik untuk mempertahankan haknya! Situasi
itu sekaligus merefleksikan kultur hukum masyarakat yang selama ini juga
dipandang oleh banyak orang sebagai kultur buruk dalam rangkaian upaya penegakan
hukum.
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur
hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari, disalahgunakan, bahkan diperoleh
keuntungan darinya. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum
masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya
hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama
ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan
salah satu indikator berfungsinya hukum.
Kultur hukum macam apakah yang dipertontonkah dalam
situasi kemacetan total lalu-lintas pada kasus yang digambarkan di atas?
Karakteristik dan nilai apakah yang tampak menyeruak ke permukaan yang nota
bene mencoreng muka dan mempermalukan muka kita sebagai masyarakat yang
sekarang sedang gencarnya melaksanakan dan mengikuti proses demokratisasi
sebagaimana banyak didengungkan orang? Jelas peristiwa di atas mempertontonkan
suasana anarkisme yang ditampilkan oleh pihak-pihak yang seenaknya melanggar
hak dan kesempatan orang lain sebagai akibat ketidakmampuan sekelompok lain
yang tidak berani mempertahankan haknya akibat ketidakhadiran petugas penegak hukum.
Terjadi pembelahan kelompok masyarakat atas sikap mereka
terhadap hukum, yaitu: kelompok berani melanggar hukum dengan kelompok yang
tidak berani melanggar alias patuh terhadap hukum. Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa kelompok yang beruntung adalah kelompok yang berani melanggar
hukum, karena absennya alat institusi penegakan hukum. Pengalaman ini akan
terakumulasi jika dibiarkan berlanjut. Akan terbentuk budaya hukum yang
berorientasi pada keuntungan di lapangan yaitu kultur melanggar hukum. Yang
menjadi korban adalah kelompok masyarakat yang patuh terhadap hukum.
Dalam kondisi di atas, keberanian melanggar hukum menjadi
sesuatu yang membanggakan bagi pelaku-pelakunya. Mereka segera sedemikian
jumawa tampil sebagai pemilik republik tercinta ini, sebagai anak kandung ibu
pertiwi karena ternyata merekalah pemilik privilege
untuk hidup nyaman di negeri ini. Ada kombinasi sikap petantang-petenteng, mental menerabas dan premanisme yang kian
menggumpal dari perilaku sekelompok orang dalam berlalulintas pada masyarakat
kita.
Adakah yang salah dari kondisi tersebut? Apakah
nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat kita sedemikian mendukung terhadap
pelanggaran-pelanggaran? Apakah masih dapat diharapkan bahwa hukum hadir untuk
mengatur hak dan kewajiban orang dan kelompok orang sehingga masing-masing
dapat hidup secara harmoni?
Sedemikian banyak pertanyaan yang mencuat dan sedemikian
banyak harapan menyeruak bersamaan dengan kehadiran sedemikian banyaknya
peristiwa pelanggaran hukum yang terjadi dihadapan mata. Pertanyaan dan harapan
itu akan senantiasa terbang melayang di antara kehidupan masyarakat, di antara
kelemahan kita dan di antara kelemahan institusi negara dalam menegakkan hukum
untuk menjamin tercapainya negara yang berkeadilan sosial sebagaimana diimpikan
oleh para founding father 69 tahun
yang lalu.
Kapankah kita sadar bahwa penegakan hukum tidak hanya
berasal dari institusi hukum, melainkan juga dari masyarakat pelaku hukum itu
sendiri? (SIB, 19 Juni 2013)