Thursday, August 8, 2013

Lapis Dua

Pada sebuah akhir pekan beberapa minggu yang lalu, selama 3 jam terasa terpenjara oleh kemacetan lalu-lintas pada ruas jalan Medan-Berastagi di wilayah Bandar Baru, Deli Serdang. Tubrukan antara sebuah bus besar dengan sebuah truk telah menyebabkan arus lalu-lintas harus terhenti total, sebab bus besar yang mengalami kecelakaan tersebut jatuh terlentang melintang di jalan. Segera terbentuk antrian panjang seperti ular mengikuti jalur jalan sepanjang Sibolangit hingga Penatapen, desa Daulu, Tanah Karo.
Antrian ini segera diperburuk oleh tindakan segerombolan pengemudi mengisi jalur kanan membentuk lapis dua barisan yang antri dari kedua jalur yang berlawanan dari arah Medan dengan dari arah Berastagi. Tentu saja segera perjalanan dari kedua arah menghadapi kebuntuan alias macet total karena dua baris kenderaan dari Medan saling berhadapan dengan dua baris kenderaan dari arah Berastagi!

Kemacetan yang Sulit Diurai
Kemacetan itu menjadi sedemikian sulit diuraikan oleh karena perilaku sekelompok pengendara yang tidak mengabaikan kepentingan pengendara lainnya dengan menempatkan kenderaannya pada jalur kanan yang tentu saja akan berhadapan dengan pengendara jalur kiri dari arah berlawanan. Kondisi seperti ini dalam tulisan ini digambarkan sebagai kemacetan karena “lapis dua”. Tergantung lebar jalan, adakalanya bisa terbentuk lapis ketiga bahkan lapis keempat! Para pengendara yang patuh mengambil jalur kiri sebagai lapis satu, dan para pengendara pelanggar peraturan adalah kelompok pengemudi yang mengambil jalur kanan sebagai lapis dua. Dalam kondisi seperti ini, yang paling dirugikan adalah kelompok pengendara yang bersikap patuh terhadap peraturan lalulintas. Dalam kondisi ini, berlaku prinsip: Patuh peraturan berarti tertinggal! Kemacetan total terjadi, dan kelompok pengendara tidak patuh siap-sedia pasang ancang-ancang untuk segera mencuri kesempatan ketika kemacetan akan diuraikan oleh petugas.
Kemacetan yang panjang tersebut sebenarnya tidak perlu memakan waktu yang sedemikian lama, karena dalam waktu sejam mobil derek telah datang segera menuju lokasi tubrukan untuk menggelandang kedua kenderaan yang terlibat tubrukan. Namun, segera muncul masalah baru karena antrian segera berlapis dua dari arah Medan maupun dari arah Berastagi yang tentu menyebabkan arus lalu-lintas mengalami kebuntuan dari kedua arah, karena jalur kiri dan kanan jalan segera tertutup oleh onggokan mobil pribadi dan mobil umum yang tidak bersedia antrian untuk masing-masing mengambil jalur kiri.
                Mobil derek tidak bisa memasuki area terjadinya kecelakaan. Sepasukan petugas dari kepolisian segera harus mengambil tindakan untuk menertibkan semua kenderaan yang telah menempati jalur kanan dari kedua arah yang berlawanan. Seluruh kenderaan tersebut harus digeser dari badan jalan ke beram jalan agar tersedia jalur masuk bagi mobil derek.

Kultur Berlalulintas
Mengamati proses penertiban tersebut, menyeruak sebuah renungan tentang perilaku berlalu-lintas di daerah kita yang tercinta ini. Perilaku berlalu-lintas kita boleh terbilang pada kategori mirip anarkisme.
Selama proses menunggu kehadiran mobil derek, betapa meresahkan melihat serombongan kenderaan dengan kecepatan tinggi segera mengisi jalur kanan dengan berharap ketika terjadi terjadi kebuntuan di depan, maka mau tidak mau mereka yang mengisi jalur kiri harus mengalah menyediakan tempat bagi mereka. Walau dengan perasaan mengkal, para pengendara jalur kiri akhirnya harus maju atau mundur untuk menyediakan tempat menyingkir bagi pengendara jalur kanan. Betapa cerdas dan liciknya pengendara-pengendara jalur kanan tersebut! Berkat terjadinya kebuntuan, mereka memiliki kesempatan mendahului pengendara jalur kiri yang telah antri untuk waktu yang lama. Masa antrian jadi bertambah bagi para pengemudi jalur kiri, sebab kesempatan yang mereka tunggu telah diambil oleh serombongan pengemudi jalur kanan yang panjangnya menyamai panjang antrian jalur kiri.
Itu merupakan gambaran perilaku berlalulintas yang sepertinya kian membudaya dikalangan pengguna jalan raya di daerah kita. Sedikit pun tidak ada rasa segan dan rasa malu untuk “merampok” kesempatan orang lain menjadi kesempatan diri sendiri. Makna jalan raya (jalan umum) menjadi sangat kabur jika dihadapkan dengan perilaku tak tau malu tersebut. Jalan seolah-olah adalah milik para para perampok tersebut. Jika ada yang memprotes tidak jarang dapat mengakibatkan terjadinya percekcokan mulut hingga perkelahian. Para perampok seenaknya tanpa perasaan bersalah berani bertekak melawan setiap orang yang protes terhadapnya. Yang paling memiriskan hati, sangat banyak diantaranya perampok-perampok tersebut justru menggunakan mobil mewah pribadi yang jika dilihat dari penampilannya adalah orang-orang “bergengsi” dan berpendidikan tinggi.

Kultur Hukum
Dalam situasi tersebut, secara kasat mata dapat disaksikan bagaimana proses pelanggaran hukum telah berlangsung ditengah-tengah ketidakberdayaan penegak hukum melindungi kepentingan publik maupun ketidakberdayaan publik untuk mempertahankan haknya! Situasi itu sekaligus merefleksikan kultur hukum masyarakat yang selama ini juga dipandang oleh banyak orang sebagai kultur buruk dalam rangkaian upaya penegakan hukum.
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, disalahgunakan, bahkan diperoleh keuntungan darinya. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Kultur hukum macam apakah yang dipertontonkah dalam situasi kemacetan total lalu-lintas pada kasus yang digambarkan di atas? Karakteristik dan nilai apakah yang tampak menyeruak ke permukaan yang nota bene mencoreng muka dan mempermalukan muka kita sebagai masyarakat yang sekarang sedang gencarnya melaksanakan dan mengikuti proses demokratisasi sebagaimana banyak didengungkan orang? Jelas peristiwa di atas mempertontonkan suasana anarkisme yang ditampilkan oleh pihak-pihak yang seenaknya melanggar hak dan kesempatan orang lain sebagai akibat ketidakmampuan sekelompok lain yang tidak berani mempertahankan haknya akibat ketidakhadiran petugas penegak hukum.
Terjadi pembelahan kelompok masyarakat atas sikap mereka terhadap hukum, yaitu: kelompok berani melanggar hukum dengan kelompok yang tidak berani melanggar alias patuh terhadap hukum. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kelompok yang beruntung adalah kelompok yang berani melanggar hukum, karena absennya alat institusi penegakan hukum. Pengalaman ini akan terakumulasi jika dibiarkan berlanjut. Akan terbentuk budaya hukum yang berorientasi pada keuntungan di lapangan yaitu kultur melanggar hukum. Yang menjadi korban adalah kelompok masyarakat yang patuh terhadap hukum.
Dalam kondisi di atas, keberanian melanggar hukum menjadi sesuatu yang membanggakan bagi pelaku-pelakunya. Mereka segera sedemikian jumawa tampil sebagai pemilik republik tercinta ini, sebagai anak kandung ibu pertiwi karena ternyata merekalah pemilik privilege untuk hidup nyaman di negeri ini. Ada kombinasi sikap petantang-petenteng, mental menerabas dan premanisme yang kian menggumpal dari perilaku sekelompok orang dalam berlalulintas pada masyarakat kita.
Adakah yang salah dari kondisi tersebut? Apakah nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat kita sedemikian mendukung terhadap pelanggaran-pelanggaran? Apakah masih dapat diharapkan bahwa hukum hadir untuk mengatur hak dan kewajiban orang dan kelompok orang sehingga masing-masing dapat hidup secara harmoni?
Sedemikian banyak pertanyaan yang mencuat dan sedemikian banyak harapan menyeruak bersamaan dengan kehadiran sedemikian banyaknya peristiwa pelanggaran hukum yang terjadi dihadapan mata. Pertanyaan dan harapan itu akan senantiasa terbang melayang di antara kehidupan masyarakat, di antara kelemahan kita dan di antara kelemahan institusi negara dalam menegakkan hukum untuk menjamin tercapainya negara yang berkeadilan sosial sebagaimana diimpikan oleh para founding father 69 tahun yang lalu.
Kapankah kita sadar bahwa penegakan hukum tidak hanya berasal dari institusi hukum, melainkan juga dari masyarakat pelaku hukum itu sendiri? (SIB, 19 Juni 2013)


Thursday, March 14, 2013

DIALOG KOAI-LOJIN DENGAN SUMA HAN


“Suma  Han,  mengapa  engkau  menyimpan  keherananmu  di  dalam  hati?  Kalau  engkau terheran  menyaksikan  sikap  dan  perbuatanku,  tanyalah.  Hanya  dengan  bertanya  orang dapat mengerti, dan bertanya adalah senjata seorang yang rendah hati, sedangkan hanya orang rendah hati saja yang akan mendapatkan kemajuan dalam perjalanan hidupnya.”

“Maaf,  suhu.  Teecu  memang  amat  terheran-heran  menyaksikan  suhu  dan  agaknya  inilah sebabnya  suhu  disebut  Koai-lojin  (Orang  Tua  Aneh).  Suhu meng-asingkan  diri  dari  dunia ramai.  Biasanya,  seorang  pendeta  yang  mengasingkan  diri  dari  dunia  ramai  adalah  orang-orang  yang  tekun  bertapa,  berpuasa  atau  kalau  ma-kan  pun  seadanya  saja,  daun  dan rumput,  minum  pun  air  yang  keluar  dari  sumber,  pekerjaannya  hanya  memuja  Tuhan  dan bersembahyang demi keselamatan umat manusia. Akan tetapi suhu, maaf.... agaknya suhu masih suka menikmati hidangan yang lezat biarpun tanpa daging.”

“Untuk bersembahyang dan memuja Tuhan tidak perlu mencari tempat sunyi karena Tuhan berada di manapun juga dan kekuasaan-Nya bekerja di dalam se-gala benda dan mahluk di seluruh  alam.  Tidak,  Suma  Han,  aku  tidak  seperti  mereka  yang  mencari  tempat  sunyi mengasingkan  diri  untuk  memuja  Tuhan.  Aku  meninggalkan  dunia  ramai,  menjauhkan  diri daripada  manusia  lain  karena  dunia  ramai  menggoncangkan  ketenteraman  hatiku, membuat  aku  kecewa  dan  berduka.  Manusia  telah  menyelimuti  diri  dengan  kepalsuan-kepalsuan yang mereka sebut peradaban, yang pada hakekatnya bagaikan sebatang pohon tua  yang  jahat,  yang  berakar  di  dalam  seluruh  kehidupan  manusia,  yang  kembang-kembangnya berupa murka, dengki, iri, dendam dan segala perbuatan jahat, buah-buahnya berupa kesengsaraan, ketakutan dan penderitaan.”

“Aku  meninggalkan  keramaian  bukan  untuk  bersembahyang  dan  hidup  sebagai  pendeta atau pertapa, karena bersembahyang adalah nyanyian hatiku, dan setiap sembahyang akan terdengar oleh Tuhan biarpun hanya dibisikkan hati di antara kebisingan dan keramian. Aku tidak  berpuasa  dan  menuntut  hidup  pertapa  karena  aku  tidak  mau  menyiksa  tubuh  dan perasaan.  Tubuh  manusia  merupakan  rumah  bagi  jiwa,  maka  adalah  kewajibanku  untuk memelihara  baik-baik  rumah  yang  diberikan  oleh  Tuhan  kepadaku  ini.  Aku  pun  tidak menolak  anugerah  Tuhan  berupa  kenikmatan  bagi  tubuhku,  asal  saja  dapat  dipisahkan kenikmatan yang berguna dan yang merusak. Yang merusak tentu takkan kulakukan karena aku segan untuk merusak rumah jiwaku.”

“Manusia  sekarang  lupa  bahwa  makan  adalah  kebutuhan  tubuh  atau  langsung  adalah kebutuhan  perut  karena  yang  menampungnya  pertama  kali  adalah  perut.  Manusia  terlalu mabuk  akan  kesenangan  sehingga  untuk  makan  pun  yang  diutamakan  adalah kelezatannya,  yang  mendatangkan  rasa  enak  pada  mulut  tanpa  mempedulikan kegunaannya  bagi  si  perut,  lupa  bahwa  yang  enak  bagi  mulut  belum  tentu  enak  bagi  perut sehingga  terlalu  sering  terjadi  mulut  menikmati  makanan  yang  sesungguhnya  merupakan racun bagi perut dan tubuh seluruhnya!”

“Suhu,  kenikmatan  dan  kegunaan  apakah  yang  suhu  dapat  peroleh  dari  pengasingan  diri dari dunia ramai ini?”

“Aku  hidup  di  alam  bebas  dan  menikmati  keindahan  dan  keagungan  alam  yang  sudah  tak dapat  tampak  lagi  oleh  mata  manusia  yang  hampir  buta  oleh  kesenangan  duniawi,  melihat cahaya  keemasan  matahari,  menikmati  keharuman  bunga-bunga,  mendengarkan  dendang merdu  anak  sungai  mengalir  dan  bisikan-bisikan  angin  pada  daun-daun  pohon.  Aku mengagumi kekuasaan Tuhan yang tampak nyata di mana-mana, dan aku berusaha untuk menyatukan diri dengan segala keindahan alam ini, sesuai dengan kekuasaan Tuhan.”  (Dikutip dari Cerita Silat "Pendekar Super Sakti, Karya Asmaraman S Kho Ping Hoo)