Friday, June 20, 2008

Siapakah yang akan Dipilih ?

Pemilihan Gubernur Sumatera Utara kali ini terasa istimewa. Ini adalah pertama kalinya masyarakat secara langsung memilih sendiri Gubernurnya. Masyarakat yang pada sistem pemilihan lama banyak menuding bahwa pemilihan yang dilakukan oleh para anggota DPRD tidak mewakili aspirasi, akan diuji kemampuannya untuk memilih calon terbaik.

Apakah masyarakat mampu memilih calon terbaik ? Jawabannya akan ditemukan beberapa hari setelah tanggal 16 April 2008. Jawaban yang paling nyata adalah ketika Gubernur terpilih mulai bertugas. Disitu akan dapat dilihat apakah dia menjalankan kewenangannya sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat ataukah kepentingan dirinya sendiri.

Karena itu, sebelum memilih ada baiknya kita mengingat-ingat kemungkinan beberapa jebakan yang menyebabkan kita salah dalam memilih.

Primordialisme

Jebakan pertama yang dapat menyebabkan masyarakat tidak berhasil calon yang terbaik adalah paternalisme. Beberapa pengamat di Sumatera Utara telah wanti-wanti atas kemungkinan jebakan ini. Ada yang mengkalisifikan bahwa bahwa masyarakat Sumatera Utara bukanlah partisipan yang rasional, melainkan cenderung parokial. Maka para pengamat mulai membuat hitung-hitungan atas kemungkinan peran faktor etnisitas dan label agama.

Hitung-hitungan semacam ini belum pasti benar. Kelompok-kelompok agama telah semakin dewasa. Mereka kian telah mampu memisahkan antara label agama dengan perilaku kekuasaan. Telah terlalu banyak bukti untuk menunjukkan bahwa seseorang akan membelakangi ajaran agamanya ketika berhadapan dengan kepentingan praktis kekuasaan.

Kelompok-kelompok etnik juga cenderung tersekat-sekat karena berbagai pertimbangan. Masyarakat Sumatera Utara yang mengalami pembelahan saling silang secara sosial tidak dengan sendirinya akan memilih calon dengan etnisitas yang sama. Skenario lain adalah faktor pengalaman masa lalu memiliki pemerintah yang kentall dengan ikatan etnisitas sehingga ada nama-nama yang berasal dari etnik tertentu justru berusaha dihindari. Disamping itu, perlu diperhatikan bahwa di Sumatera Utara tidak ada etnik yang dominan yang gabungan suaranya pasti dapat memenangkan calon. Apalagi, ada beberapa calon dari pasangan calon yang berasal dari etnik yang sama. Sehingga suara kelompok etnik yang dimaksud juga akan menyebar.

Namun, berdasarkan info dari “curi-dengar” beberapa diskusi di warung pinggir jalan, obrolan antartetangga, hingga obrolan di kantor tampaknya jebakan primodialisme tiba-tiba bisa berpengaruh. Kalau faktor ini berpengaruh maka peluang terpilihnya calon yang “not excellent” bisa terjadi.

Money Politic

Jebakan lainnya adalah politik uang (money politic). Jika masyarakat memang benar-benar dapat dikendalikan dengan uang, maka jelas masyarakat akan memilih mereka yang paling “pemurah” menghambur-hamburkan uang. Namun ada kasus pemilihan, dimana pemilih ternyata tidak tergoda dengan uang. Mereka terima uang, namun mereka pilih sesuai dengan nuraninya.

Perlu dicermati juga bahwa petugas penghitung suara dan pengawas bisa ikut melakukan penyelewengan dalam penghitungan untuk memenangkan calon yang “membeli”nya.

Kekerasan

Ada jebakan lainnya yakni ancaman kekerasan. Ini bisa mengenai kelompok pemilih, pertugas penghitung suara atau pejabat KPUD. Pemilu pada masa orde baru sering dituding diwarnai oleh faktor ini. Sehingga orang memilih bukan atas dasar kesadaran atau preferensi pribadi melainkan dibawah tekanan. Petugas penghitung bisa secara sengaja membuat penghitungan yang keliru juga karena berada dibawah tekanan.

Tekanan yang sama bisa terjadi terhadap masyarakat pemilih. Upaya yang dilakukan untuk menghindarinya adalah berusaha ikut larut kedalam kelompok-kelompok sosial, termasuk kelompok ketetanggaan. Bersama-sama dengan kelompok dapat dibangun kesepakatan untuk saling menjaga walaupun preferensi pilihan kemungkinan berbeda.

Pihak kepolisian telah menyatakan sikap tegas bahwa tidak akan memberikan toleransi terhadap pelaku kekerasan. Terbetik kabar bahwa penembak jitu juga telah disiapkan untuk mengantisipasi munculnya kekerasan.

Siapa yang layak Dipilih ?

Ada beberapa pertimbangan yang perlu dicermati sebelum menentukan siapa yang akan dipilih. Sebatas informasi yang dimiliki atau bahkan perlu ditambah terus-menerus adalah informasi rekam jejak semua calon. Latar-belakang pribadi, pekerjaan hingga kebiasaan-kebiasaannya serta orientasi kemasyarakatannya perlu dijadikan pertimbangan. Jika sang calon menyatakan sangat komitmen dengan pembangunan, maka perlu diketahui tindakan-tindakan yang telah dilakukaknnya dalam memberantas korupsi, menghindari kolusi dan nepotisme. Prestasi apakah yang telah ditunjukkan yang secara signifikan telah memperbaiki kehidupan masyarakat.

Perlu pula diketahui bahwa sang calon tidak sedang menggunungkan hutang selama mengikuti proses Pilkada. Semua orang tahu bahwa jika ada hutang semasa Pilkada, maka pembayaran utang pasti bersumber dari pekerjaan dan jabatannya. Informasi semacam ini mudah diperoleh dari rekanan kerja sang calon selama ini. Melalui rekanan kerjanya ini para pemilih dapat mengetahui apakah sang calon termasuk ganas atau tidak melahap anggaran pembangunan. Terkadang bisa pula diperoleh informasi tentang orang-orang yang menalangi segenap biaya atau belanja yang diperlukan sang calon selama melakukan hubungan dengan partai politik, sosialisasi hingga kampanye.

Pertimbangan lainnya adalah menyangkut visi sang calon terhadap reformasi birokrasi. Sebagian besar orang tahu bahwa masalah yang paling besar dalam pemerintahan kita adalah keburukan birokrasi pemerintahan. Hingga saat ini kita belum memiliki birokrasi yang berdisiplin, effisien dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Maka calon yang memiliki visi yang jelas dan terukur dalam hal reformasi birokrasi tentu perlu dipertimbangkan untuk dipilih.

Akhirnya, beberapa hari lagi kita akan memilih. Pilihan kita menentukan masa depan Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun ke depan. Mari bersama-sama menjadikan masa depan adalah milik kita, bukan milik penunggang-penunggang kekuasaan mempertunjukkan sepak-terjangnya dan berpesta-ria dengan segala kemewahan yang kian memiskinkan rakyat.

Wednesday, June 4, 2008

Antara Medan dan Yogya

Beberapa bulan yang lalu, ada seorang teman dari Yogya datang ke Medan. Katanya, selama sebulan dia akan berada di Medan untuk melakukan penelitian tentang desentralisasi pemerintahan. Walau Undang-uindang tentang pemerinahan daerah telah diperbaharui dengan UU No.32/2004 dirasakan bahwa pemerintahan kita (termasuk pemerintahan daerah) belum semakin bagus kinerjanya. Bahkan permasalahan masih saja muncul sejalan dengan bertambahnya kebijakan dan tindakan pemerintah. Menurutnya, melalui penelitian tersebut akan dapat diidentifikasi berbagai permasalahan otonomi daerah serta karakteristiknya di setiap daerah yang menjadi objek penelitian. Issu pelayanan publik, akuntabilitas, transparansi, partisipasi, serta konflik di daerah akan dicermati dan data-data hasil penelitian akan dikelola menjadi data-base desentralisasi di Indonesia.

Sesampainya di hotel, dan setelah selesai memberesi barang-barang dan tas, kami pergi makan soto dan minum juice Terong Belanda ke salah satu warung soto terkenal di jalan Gatot Subroto Medan. Komentarnya, Soto Medan rasanya lebih “meriah” daripada soto yang dijual di Yogya. Santannya lebih pekat, dan bahan bumbunya lebih beraneka macam. Sedangkan, juice Terong Belanda rasanya asam, tapi citarasanya khas dan “uenaaak”.

Pohon Pinggir Jalan

Sepulang makan soto, kami melewati jalan Sudirman kota Medan, teman itu berkomentar: ”Seharusnya setiap kota mempertahankan suasana jalan seperti ini!” sambil menunjuk pada lalu lintas yang teratur dan rapi, serta pohon-pohon mahoni yang tumbuh subur di kiri dan kanan jalan, yang memberikan tempat berlindung dan mencurahkan rasa sejuk kepada setiap insan pengguna jalan. Dia kemudian melanjutkan komentarnya, bahwa Yogya sangat miskin pohon-pohonan di pinggir jalan. Walau di kota itu turis suka berjalan kaki, namun masyarakat Yogya justru lebih suka tidak berjalan kaki, menghindari sengatan matahari yang membuat kulit menjadi cokelat legam.

Saya teringat, dulu di jalan Malioboro berderet pohon palm yang rindang yang menambah daya pikat untuk berjalan sepanjang jalan sambil menikmati souvenir hasil kerajinan tangan yang dipajang sepanjang emperan toko. Namun pada tahun 1980an, palm-palm tersebut harus ditebang dengan alasan pembangunan/pengembangan wilayah Malioboro. Berbagai protes dari masyarakat termasuk almarhum Romo Mangun tidak digubris. Pada segmen lain di kota Yogya, dulu di Jalan Pangeran Senopati, khususnya di seputaran Kantor Pos hingga Shopping Centre; jalan terasa sejuk-dingin karena kerindangan pohon di kiri dan kanan jalan. Semoga saja wilayah itu masih tetap sejuk, asri dan adem.

Saat ini, di jalan protokol di sekitar dan hingga stadion Kridosono; juga pada beberapa titik di Kompleks UGM Bulak Sumur, kita dapati pohon-pohon rindang yang memberikan suasana keteduhan. Tapi semua itu hanya terasa hanya secuil dibanding keseluruhan luas wilayah dan panjang ruas jalan yang ada di Yogya. Begitu juga di Medan, wilayah di sekitar Jalan Sudirman juga hanya secuil, dibanding keseluruhan wilayah kota yang miskin pepohonan. Yogya dan Medan tidak jauh berbeda menyangkut perkara pohon di pinggir jalan.

Kelihatannya, juga masih secuil jumlahnya pemerintahan kota yang begitu peduli dengan urusan pohon-pohonan ini. Bahkan, belakangan ini terbetik berita bahwa di kota-kota juga terjadi penebangan liar. Biasanya penebangan liar terjadi di hutan, tetapi kali ini penebangan liar terjadi di kota ! Yaitu penebangan terhadap pohon-pohon pelindung di pinggir jalan. Hingga hari ini, belum ada kota di Indonesia yang memberikan perlakuan khusus terhadap upaya-upaya melindungi kawasan hijau, atau merangsang masyarakat untuk menjaga dan menanam pohon. Tentu sudah banyak yang mengajukan pemikiran agar diberikan insentif bagi setiap masyarakat atas setiap pohon yang ditanamnya. Namun kalau pun ada masih secuil kebijakan untuk mengakomodasi gagasan tersebut.

Buaya dan Pohon

Pada hari lain, sang teman dari Yogya itu minta diajak untuk menikmati the other side of Medan. Saya ajak dia jalan-jalan ke Asam Kumbang, taman buaya yang merupakan salah satu spot wisata kota (city tours) yang ada di Medan. Di sana para pengunjung dapat melihat bagaimana buaya-buaya peliharaan saling berlomba merebut dan menyentap bangkai ayam yang dilemparkan petugas. Pemandangan itu serasa memberi keasyikan tersendiri walau terkadang terasa mengerikan. Namun dalam perspektif yang berbeda, terlihat proses daur ulang terhadap sampah (bangkai ayam) berjalan demikian cepatnya, tanpa menggunakan mesin penghancur sampah canggih yang konon harganya cukup mahal. Disamping itu, pengunjung juga dapat menyaksikan berpuluh-puluh “bayi” buaya yang baru menetas, bak cecak, jauh dari bayangan menyeramkan seperti buaya dewasa yang kejam, ganas dan liar. Ketika masih “bayi”, ternyata buaya hanya merupakan makhluk kecil, lemah dan pantas dikasihani.

Teman saya bercerita juga tentang the other side of Yogya juga ternyata menarik. Tempatnya di Alun-alun Kidul. Pada malam hari, banyak orang datang ke sana duduk di sekeliling Alun-alun sambil minum ronde. Beberapa orang sekitar menawarkan penutup mata untuk disewa. Lha, koq penutup mata ?! Ternyata, pengunjung dapat mencoba menutup matanya, kemudian mencoba berjalan lurus agar lewat di antara kedua pohon beringin yang ada di tengah lapangan. Banyak di antara pengunjung ternyata tidak bisa berjalan lurus jika matanya ditutup. Mereka berjalan sambil meraba menjauhi kedua pohon, terkadang malah saling bertubrukan dengan pengunjung lain yang juga menutup matanya. Bagi yang menyaksikan, wew betapa lucu terkadang terasa iba melihat orang berjalan tak tentu arah apalagi bertubrukan. Ketika matanya tertutup ternyata orang-orang tak lebih ibarat orang mabuk, lemah dan pantas dikasihani…