“Suma
Han, mengapa engkau
menyimpan keherananmu di
dalam hati? Kalau
engkau terheran menyaksikan sikap
dan perbuatanku, tanyalah.
Hanya dengan bertanya
orang dapat mengerti, dan bertanya adalah senjata seorang yang rendah
hati, sedangkan hanya orang rendah hati saja yang akan mendapatkan kemajuan
dalam perjalanan hidupnya.”
“Maaf,
suhu. Teecu memang
amat terheran-heran menyaksikan
suhu dan agaknya
inilah sebabnya suhu disebut
Koai-lojin (Orang Tua
Aneh). Suhu meng-asingkan diri
dari dunia ramai. Biasanya,
seorang pendeta yang
mengasingkan diri dari
dunia ramai adalah
orang-orang yang tekun
bertapa, berpuasa atau
kalau ma-kan pun
seadanya saja, daun
dan rumput, minum pun
air yang keluar
dari sumber, pekerjaannya
hanya memuja Tuhan
dan bersembahyang demi keselamatan umat manusia. Akan tetapi suhu,
maaf.... agaknya suhu masih suka menikmati hidangan yang lezat biarpun tanpa
daging.”
“Untuk bersembahyang dan memuja Tuhan tidak perlu mencari
tempat sunyi karena Tuhan berada di manapun juga dan kekuasaan-Nya bekerja di
dalam se-gala benda dan mahluk di seluruh
alam. Tidak, Suma
Han, aku tidak
seperti mereka yang
mencari tempat sunyi mengasingkan diri
untuk memuja Tuhan.
Aku meninggalkan dunia
ramai, menjauhkan diri daripada
manusia lain karena
dunia ramai menggoncangkan ketenteraman
hatiku, membuat aku kecewa
dan berduka. Manusia
telah menyelimuti diri
dengan kepalsuan-kepalsuan yang
mereka sebut peradaban, yang pada hakekatnya bagaikan sebatang pohon tua yang
jahat, yang berakar
di dalam seluruh
kehidupan manusia, yang
kembang-kembangnya berupa murka, dengki, iri, dendam dan segala
perbuatan jahat, buah-buahnya berupa kesengsaraan, ketakutan dan penderitaan.”
“Aku
meninggalkan keramaian bukan
untuk bersembahyang dan
hidup sebagai pendeta atau pertapa, karena bersembahyang
adalah nyanyian hatiku, dan setiap sembahyang akan terdengar oleh Tuhan biarpun
hanya dibisikkan hati di antara kebisingan dan keramian. Aku tidak berpuasa
dan menuntut hidup
pertapa karena aku
tidak mau menyiksa
tubuh dan perasaan. Tubuh
manusia merupakan rumah
bagi jiwa, maka
adalah kewajibanku untuk memelihara baik-baik
rumah yang diberikan
oleh Tuhan kepadaku
ini. Aku pun
tidak menolak anugerah Tuhan
berupa kenikmatan bagi
tubuhku, asal saja
dapat dipisahkan kenikmatan yang
berguna dan yang merusak. Yang merusak tentu takkan kulakukan karena aku segan
untuk merusak rumah jiwaku.”
“Manusia
sekarang lupa bahwa
makan adalah kebutuhan
tubuh atau langsung
adalah kebutuhan perut karena
yang menampungnya pertama
kali adalah perut.
Manusia terlalu mabuk akan
kesenangan sehingga untuk
makan pun yang
diutamakan adalah
kelezatannya, yang mendatangkan
rasa enak pada
mulut tanpa mempedulikan kegunaannya bagi
si perut, lupa
bahwa yang enak
bagi mulut belum
tentu enak bagi
perut sehingga terlalu sering
terjadi mulut menikmati
makanan yang sesungguhnya
merupakan racun bagi perut dan tubuh seluruhnya!”
“Suhu,
kenikmatan dan kegunaan
apakah yang suhu
dapat peroleh dari
pengasingan diri dari dunia ramai
ini?”
“Aku
hidup di alam
bebas dan menikmati
keindahan dan keagungan
alam yang sudah
tak dapat tampak lagi
oleh mata manusia
yang hampir buta
oleh kesenangan duniawi,
melihat cahaya keemasan matahari,
menikmati keharuman bunga-bunga,
mendengarkan dendang merdu anak
sungai mengalir dan
bisikan-bisikan angin pada
daun-daun pohon. Aku mengagumi kekuasaan Tuhan yang tampak
nyata di mana-mana, dan aku berusaha untuk menyatukan diri dengan segala
keindahan alam ini, sesuai dengan kekuasaan Tuhan.” (Dikutip dari Cerita Silat "Pendekar Super Sakti, Karya Asmaraman S Kho Ping Hoo)