Thursday, March 14, 2013

DIALOG KOAI-LOJIN DENGAN SUMA HAN


“Suma  Han,  mengapa  engkau  menyimpan  keherananmu  di  dalam  hati?  Kalau  engkau terheran  menyaksikan  sikap  dan  perbuatanku,  tanyalah.  Hanya  dengan  bertanya  orang dapat mengerti, dan bertanya adalah senjata seorang yang rendah hati, sedangkan hanya orang rendah hati saja yang akan mendapatkan kemajuan dalam perjalanan hidupnya.”

“Maaf,  suhu.  Teecu  memang  amat  terheran-heran  menyaksikan  suhu  dan  agaknya  inilah sebabnya  suhu  disebut  Koai-lojin  (Orang  Tua  Aneh).  Suhu meng-asingkan  diri  dari  dunia ramai.  Biasanya,  seorang  pendeta  yang  mengasingkan  diri  dari  dunia  ramai  adalah  orang-orang  yang  tekun  bertapa,  berpuasa  atau  kalau  ma-kan  pun  seadanya  saja,  daun  dan rumput,  minum  pun  air  yang  keluar  dari  sumber,  pekerjaannya  hanya  memuja  Tuhan  dan bersembahyang demi keselamatan umat manusia. Akan tetapi suhu, maaf.... agaknya suhu masih suka menikmati hidangan yang lezat biarpun tanpa daging.”

“Untuk bersembahyang dan memuja Tuhan tidak perlu mencari tempat sunyi karena Tuhan berada di manapun juga dan kekuasaan-Nya bekerja di dalam se-gala benda dan mahluk di seluruh  alam.  Tidak,  Suma  Han,  aku  tidak  seperti  mereka  yang  mencari  tempat  sunyi mengasingkan  diri  untuk  memuja  Tuhan.  Aku  meninggalkan  dunia  ramai,  menjauhkan  diri daripada  manusia  lain  karena  dunia  ramai  menggoncangkan  ketenteraman  hatiku, membuat  aku  kecewa  dan  berduka.  Manusia  telah  menyelimuti  diri  dengan  kepalsuan-kepalsuan yang mereka sebut peradaban, yang pada hakekatnya bagaikan sebatang pohon tua  yang  jahat,  yang  berakar  di  dalam  seluruh  kehidupan  manusia,  yang  kembang-kembangnya berupa murka, dengki, iri, dendam dan segala perbuatan jahat, buah-buahnya berupa kesengsaraan, ketakutan dan penderitaan.”

“Aku  meninggalkan  keramaian  bukan  untuk  bersembahyang  dan  hidup  sebagai  pendeta atau pertapa, karena bersembahyang adalah nyanyian hatiku, dan setiap sembahyang akan terdengar oleh Tuhan biarpun hanya dibisikkan hati di antara kebisingan dan keramian. Aku tidak  berpuasa  dan  menuntut  hidup  pertapa  karena  aku  tidak  mau  menyiksa  tubuh  dan perasaan.  Tubuh  manusia  merupakan  rumah  bagi  jiwa,  maka  adalah  kewajibanku  untuk memelihara  baik-baik  rumah  yang  diberikan  oleh  Tuhan  kepadaku  ini.  Aku  pun  tidak menolak  anugerah  Tuhan  berupa  kenikmatan  bagi  tubuhku,  asal  saja  dapat  dipisahkan kenikmatan yang berguna dan yang merusak. Yang merusak tentu takkan kulakukan karena aku segan untuk merusak rumah jiwaku.”

“Manusia  sekarang  lupa  bahwa  makan  adalah  kebutuhan  tubuh  atau  langsung  adalah kebutuhan  perut  karena  yang  menampungnya  pertama  kali  adalah  perut.  Manusia  terlalu mabuk  akan  kesenangan  sehingga  untuk  makan  pun  yang  diutamakan  adalah kelezatannya,  yang  mendatangkan  rasa  enak  pada  mulut  tanpa  mempedulikan kegunaannya  bagi  si  perut,  lupa  bahwa  yang  enak  bagi  mulut  belum  tentu  enak  bagi  perut sehingga  terlalu  sering  terjadi  mulut  menikmati  makanan  yang  sesungguhnya  merupakan racun bagi perut dan tubuh seluruhnya!”

“Suhu,  kenikmatan  dan  kegunaan  apakah  yang  suhu  dapat  peroleh  dari  pengasingan  diri dari dunia ramai ini?”

“Aku  hidup  di  alam  bebas  dan  menikmati  keindahan  dan  keagungan  alam  yang  sudah  tak dapat  tampak  lagi  oleh  mata  manusia  yang  hampir  buta  oleh  kesenangan  duniawi,  melihat cahaya  keemasan  matahari,  menikmati  keharuman  bunga-bunga,  mendengarkan  dendang merdu  anak  sungai  mengalir  dan  bisikan-bisikan  angin  pada  daun-daun  pohon.  Aku mengagumi kekuasaan Tuhan yang tampak nyata di mana-mana, dan aku berusaha untuk menyatukan diri dengan segala keindahan alam ini, sesuai dengan kekuasaan Tuhan.”  (Dikutip dari Cerita Silat "Pendekar Super Sakti, Karya Asmaraman S Kho Ping Hoo)