Saturday, December 15, 2007

Pemerintah Daerah di Sumut Dinilai Kurang Peduli Desa

Karo, Kompas - Kepedulian pemerintah daerah di Sumatera Utara, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten, terhadap pengembangan desa- desa dinilai sangat rendah. Selama ini pembangunan di desa kebanyakan hanya bersifat upacara dan tidak menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung. Padahal, kawasan pedesaan dihuni sebagian besar penduduk di Sumatera Utara. Karena itu, jika desa-desa tidak dikembangkan, masa depan otonomi daerah diragukan keberhasilannya.

Demikian dikatakan Kepala Laboratorium Otonomi Daerah, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Sumatera Utara Drs Robinson Sembiring MSi kepada wartawan, Sabtu (4/6). "Saat ini desa-desa yang ada di Sumatera Utara rata-rata tak tersentuh oleh roda pembangunan," katanya.

Menurut Robinson, desa biasanya hanya akan mendapat sentuhan pembangunan jika salah satu anggota masyarakat di desa tersebut menjadi pejabat tinggi. Desa juga hanya diperhatikan saat menjelang pemilihan umum atau menjelang pemilihan kepala daerah.

"Desa tak lebih hanya menjadi pernik-pernik untuk menghias kebijakan pembangunan. Pada umumnya desa-desa dalam kondisi memprihatinkan, seperti yang terjadi di daerah penelitian kami, yaitu Desa Buluhnaman, Kecamatan Munte, Kabupaten Karo," ungkap Robinson.

Desa yang hanya berjarak sekitar 90 kilometer dari Medan ini, menurut Robinson, bisa dilihat sebagai contoh nyata kegagalan pembangunan desa. Hampir semua aspek kegagalan pembangunan bisa dilihat di sini, seperti masalah kekurangan modal, kemampuan sumber daya manusia yang sangat rendah, kekurangan teknologi, informasi, dan akses ke pasar, rusaknya infrastruktur jalan raya, dan tidak berfungsinya lembaga desa.

Saat Kompas berada di desa tersebut, suasana desa yang berpenduduk 365 keluarga itu memang cukup memprihatinkan. Kondisi desa sangat kotor, dengan infrastruktur yang sangat minim. Setiap rumah tangga rata-rata tidak memiliki WC dan kamar mandi. Karena itu, mereka harus pergi ke sungai untuk buang air besar.

Kondisi jalan masuk ke desa dari Jalan Raya Kabanjahe-Kutacane sepanjang dua kilometer kini juga sudah rusak. Menurut warga, meski sangat vital dan menjadi akses utama ke desa itu, jalan tersebut ternyata sudah 20 tahun dibiarkan rusak parah, sama sekali tidak diperbaiki pemerintah.

Sementara itu, menurut penelitian Robinson dan timnya, lembaga desa seperti kepala desa dan badan perwakilan desa, serta sejumlah lembaga desa lain, tidak berfungsi optimal. Bahkan, sebagian besar warga desa tidak mengetahui fungsi dan tugas aparat desa mereka.

"Kerja aparat desa hanya mengurus surat-menyurat saja, seperti pengurusan kartu tanda penduduk atau surat pindah," kata Abdul Rozak Tanjung, salah satu peneliti.

Dana pembangunan

Kepala Desa Buluhnaman Suria Kaban (43) mengatakan, salah satu faktor lambannya pembangunan di desanya adalah karena minimnya dana. "Dana pembangunan desa hanya berasal dari program Bandes sebesar Rp 7,5 juta. Itu pun yang kami terima hanya Rp 5 juta, sedangkan yang Rp 2,5 juta lagi tidak diketahui ke mana larinya. Dana sebanyak ini habis untuk perbaikan tempat pertemuan desa. Mana mungkin dana itu bisa untuk membiayai pembangunan desa," katanya.

Suria Kaban mengatakan, pihaknya kesulitan mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur desa. "Kami sudah mengajukan kepada pemerintah bertahun- tahun lalu untuk perbaikan jalan desa, tetapi tidak pernah ditanggapi. Kami akhirnya memperbaiki jalan itu secara swadaya dengan iuran Rp 10.000 per keluarga. Terlalu sulit menuntut partisipasi warga lebih banyak karena pendapatan kami juga sangat minim," kata Suria Kaban. (AIK)-Kompas, Senin, 06 Juni 2005

Tak Sulit bagi Megawati Selesaikan Konflik Aceh


Banda Aceh, Kompas - Tidak sulit bagi pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri menangani persoalan konflik di Aceh. Syaratnya, pemerintah harus konsisten menjalankan upaya dialog dengan kelompok penuntut kemerdekaan, dan konsisten pula menerapkan proses hukum terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi selama ini."Saya pikir demikian intinya, dan tampaknya Megawati telah melihat ke arah itu," kata Saifuddin Bantasyam, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, ketika dihubungi Sabtu (18/8).

Harapan senada juga dikemukakan Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof Dr Bungaran Simanjuntak, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr M Solly Lubis, dan staf pengajar FISIP USU Robinson Sembiring secara terpisah. Mereka juga menyoroti diberlakukannya Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam.

Saifuddin melihat UU Nanggroe Aceh Darussalam (UU NAD) yang mengatur berbagai masalah menyangkut otonomi khusus bagi Aceh, merupakan bagian dari solusi penyelesaian konflik. Dalam pandangan Saifuddin, UU tersebut bukanlah the final solution, karena permasalahan yang terjadi di Aceh sudah sangat kompleks. Tidak saja menyangkut kelompok penuntut kemerdekaan, tetapi juga luka-luka yang telah lama terjadi hingga sekarang di tengah masyarakat belum diobati.

Itu semua terjadi karena hingga sekarang pendekatan keamanan masih dikedepankan dan mendapat legitimasi pemerintah. Yang terakhir adalah Instruksi Presiden No 4 Tahun 2001 yang mengatur langkah-langkah konprehensif penyelesaian masalah Aceh. Di lapangan, yang terlihat lebih mengemuka adalah pendekatan keamanan, sementara pendekatan lainnya masih jalan di tempat.

Dalam kondisi demikian, kata Saifuddin, pemerintahan Megawati harus berada pada satu titik tegas dan mengambil langkah bijaksana untuk penyelesaian konflik Aceh.

Pertama, Megawati harus mengedepankan langkah dialog dengan pihak penuntut kemerdekaan. Berbagai solusi akan didapat manakala dialog berjalan dengan kepala dingin. Untuk mencapai proses itu, enam perunding dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah ditangkap polisi sejak 20 Juli lalu harus dilepaskan.

"Memang butuh waktu untuk mencapai solusi dalam dialog. Saya kira Menlu Hassan Wirayuda sudah punya pengalaman banyak soal itu, karena beliau pernah terlibat hal yang sama di Filipina," katanya.

Tahapan-tahapan kesepakatan dalam perundingan pun jangan diusik oleh aktivitas lain yang dapat memperkeruh kondisi keamanan. Menurut Saifuddin, kesepakatan masalah keamanan harus diutamakan terlebih dahulu untuk selanjutnya masuk dalam fase pembicaraan politik. Kalau keamanan kacau, akan sulit melakukan perundingan.

Kedua, Megawati harus konsisten menjalankan proses hukum terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi sejak lama di Aceh. Menurut Saifuddin, di mata rakyat di Aceh, hukum sejak lama bagai tidak mampu ditegakkan. Dia menyebut bagaimana berbagai kasus yang terjadi sejak masa pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) tahun 1989-1998, serta sejumlah operasi lainnya hingga sekarang telah menyebabkan jatuhnya korban rakyat sipil dalam jumlah besar. Rakyat ingin melihat bagaimana hukum bisa ditegakkan tanpa memandang siapa yang terlibat.

Pelaksanaan proses hukum di mata rakyat adalah sesuatu yang pasti, karena di sana mengandung nilai-nilai harga diri, harkat dan martabat orang Aceh. Ketika ini tidak dijalankan, maka kepudaran rasa percaya rakyat pada pemerintah tak bisa terelakkan.

Direktur Eksekutif Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP HAM) Aceh itu melihat pemerintahan Megawati bisa melaksanakan proses itu jika disertai kemauan keras dan iktikad baik.

Menurut dia, langkah dialog dan proses hukum itu harus dilakukan serius, sehingga rakyat dapat memberi penilaian bahwa pemerintah tidak main-main dalam menyelesaikan konflik Aceh yang telah puluhan tahun terjadi.

Langkah lainnya adalah menyangkut pendekatan sosial, ekonomi selaras dengan kebutuhan masyarakat. Tentang UU NAD itu sendiri, dia mengatakan, akan kurang gemanya di masyarakat manakala kekerasan terus terjadi setiap hari dan proses hukum terhadap pelakunya tak berjalan. "Masyarakat Aceh itu inginnya hidup tenang dan jauh dari ketidakpastian," tegasnya.

Pendekatan berbagai sudut

Sementara itu, Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof Dr Bungaran Simanjuntak berpendapat, ada dua hal yang harus dilakukan pemerintahan Megawati dalam menangani masalah Aceh. Pertama, meneliti secara sungguh-sungguh akar permasalahan di Aceh. Kedua, melakukan pendekatan dan penyadaran secara terus menerus kepada tokoh-tokoh masyarakat serta kelompok bersenjata.

Dalam perbincangan dengan Kompas di Medan, Kamis, ia menambahkan, masyarakat Aceh sebenarnya adalah masyarakat heterogen, yang terdiri dari berbagai macam subkultur.

"Megawati sebaiknya melanjutkan apa yang sudah dilakukan Abdurrahman Wahid. Hanya saja, kelemahan Abdurrahman Wahid adalah tidak dilengkapi penelitian mendalam tentang akar masalah. Padahal, tidak semua kabupaten satu ide dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Bahkan, bukan hanya tingkat kabupaten, tidak semua subkultur seide dengan GAM. Jadi, sekalipun sekarang ini suara yang keluar seolah-olah satu, tetapi sesungguhnya setiap subkultur memiliki pendapat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak bisa semuanya disamakan dengan gerakan separatis," tegasnya.

Diingatkan pula, di Aceh terdapat berbagai macam lembaga adat yang sangat besar pengaruhnya, yang juga mempunyai pendapat beragam. Hanya saja, berbagai pendapat yang berbeda tersebut tidak mungkin muncul ke permukaan. Sebab, ketika mengatakan setuju dengan pemerintah, akan menjadi sasaran GAM. Sebaliknya, jika menyatakan setuju dengan GAM akan menjadi bulan-bulanan aparat keamanan. Patut diperhatikan, lembaga-lembaga adat tersebut merupakan salah satu pintu masuk yang penting, untuk mengetahui beragam pendapat yang ada dalam masyarakat, serta menyadarkan dan meyakinkan kembali makna kehidupan sebagai satu bangsa.

Karena Aceh adalah daerah yang secara kultural heterogen, tambah Simanjuntak, maka pendekatannya pun harus dilakukan dari berbagai sudut, baik kultural, ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun keamanan. Dengan demikian, kalaupun ada satu kelompok yang harus didekati dengan kekuatan militer, tidak bisa semuanya diperlakukan demikian.

"Kesalahan pemerintah selama ini adalah hanya ingin penyelesaian sekejap, tanpa melihat akar permasalahan. Kalau melakukan sikat habis lagi, maka kelompok yang tadinya tidak sependapat dengan kelompok separatis justru jadi ikut, atau paling tidak, tidak membantu pemerintah pusat," katanya.

Mengenai pemberlakuan hukum Islam di Aceh, Bungaran Simanjuntak memandang masih dalam taraf kewajaran mengingat komposisi penduduknya. Namun, menurut dia, yang penting adalah bagaimana menumbuhkan kembali kesadaran dan meyakinkan masyarakat, bahwa Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari negara kesatuan RI.

"Kita juga hanya bisa mengingatkan kepada tokoh-tokoh Aceh yang mengangkat senjata, harus ada take and give. Pemerintah pusat tidak akan mundur dari UUD 1945. Jadi, apa yang sudah dilakukan pemerintah pusat, termasuk dengan UU Nanggroe Aceh Darussalam tersebut, mesti direspons positif. Kalau tidak, tidak akan selesai-selesai gejolak di Aceh, dan benturan senjata pada akhirnya hanya akan merugikan rakyat," katanya.

Kepada pemerintahan Megawati diingatkan, tidak ada penyelesaian dengan hasil yang instan. Penyelesaian masalah Aceh memerlukan proses dan waktu. Harus dilakukan dengan pendekatan dan penyadaran terus-menerus dari berbagai sudut dan lapisan masyarakat Aceh.

UU Nanggroe Aceh

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr M Solly Lubis menyatakan, sampai saat ini secara riil pemerintah pusat belum memberikan keistimewaan dalam bidang ekonomi kepada masyarakat Aceh. Kalaupun hal itu sudah dijawab dengan ditetapkannya UU Nanggroe Aceh Darussalam, tetapi pelaksanaannya masih akan banyak ditentukan oleh bagaimana sambutan masyarakat Aceh itu sendiri.

Masyarakat Aceh yang setuju dengan undang-undang tersebut pun akan melihat dahulu, sejauh mana kepentingan-kepentingan daerah diperhatikan. Dengan demikian, seperti halnya Bungaran Simanjuntak, Solly Lubis berpendapat, penyelesaian masalah Aceh memerlukan proses dan waktu, serta harus dilakukan secara komprehensif dan terencana matang.

Sedangkan staf pengajar FISIP USU, Robinson Sembiring mengemukakan pendapat berbeda. "Sulit bagi kita untuk membayangkan terciptanya upaya penyelesaian konflik yang adil bagi semua pihak. Soalnya, bagaimana kita harus menimbang antara motif dendam dari luka lama pemberlakuan Daerah Operasi Militer dengan motif penegakan hukum," katanya.

Oleh karena itu, alternatif paling baik saat ini, menurut dia, aparat keamanan justru harus diberi toleransi untuk bertindak lebih tegas lagi, tetapi tetap dalam koridor hukum. Akan tetapi, langkah tegas tersebut harus disertai pemberian kompensasi kepada korban kekerasan masa lalu.

Untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lampau, mencegah tindakan petugas keamanan yang menyeleweng dari jalur hukum, masyarakat Aceh harus diberikan kesempatan untuk turut merumuskan dan memutuskan cara penegakan hukum tersebut, serta mengawasi pelaksanaannya. "Berikan kesempatan pada masyarakat Aceh memberikan laporan yang benar, dan melihat operasi hukum tersebut," katanya.

Di lain pihak, menurut Sembiring, cita-cita sebagian masyarakat Aceh untuk melepaskan diri dari pangkuan Republik Indonesia, adalah bukan cita-cita yang rasional selama konsep NKRI masih hidup.

Diingatkan, terlalu banyak pengalaman sejarah pada kelompok masyarakat bangsa lain yang menunjukkan konflik semacam itu hanya akan menjadikan terbuangnya energi sosial masyarakat. "Cita-citanya tidak pernah tercapai, yang didapat hanya perang setiap hari. Senang-tidak senang, kelompok separatis harus menerima sebuah realitas sejarah, bahwa masyarakat Aceh terlahir sebagai putra-putri RI," katanya. (nj/anv)/Kompas


Saturday, December 8, 2007

Pariwisata Simeulue Sulit Dieksplotasi, Jika...

Adakah potensi pariwisata di Pulau Simeulue ? Semua orang pasti menjawab: “Ya ada”. Namun, ketika ditanyakan, dapatkah potensi tersebut dieksploitasi untuk mendongkrak ekonomi pulau ini, maka jawabannya adalah “sulit dikembangkan”. Ada beberapa alasan yang perlu dikemukakan, yakni menyangkut jarak, persepsi tentang pariwisata dan kebijakan (policies).

Tulisan ini tidak bermaksud “membunuh” semangat orang maupun pemerintah dalam membangun pariwisata Simeulue. Melainkan untuk mengingatkan segenap pihak bahwa demikian banyak kendala-kendala yang harus dihadapi ketika berencana untuk mengembangkan industri wisata di pulau ini. Kendala-kendala yang dimaksud relatif lebih berat dibandingkan daerah lain, sehingga dibutuhkan energi dan komitmen lebih besar untuk menghadapinya. Jika energi dan komitmen tidak cukup, maka lebih baik buang jauh-jauh niat untuk membangun pariwisata di Simeulue. Bahkan, jangan-jangan, Dinas Pariwisata pun lebih baik dilebur dengan dinas lain untuk menjalankan tugas yang lebih bertautan dengan kepentingan masyarakat.

Jarak

Pulau Simeulue merupakan pulau terpencil. Ini suatu fakta yang tidak perlu diperdebatkan. Kabupaten Aceh Barat, ketika masih memiliki Pulau Simeulue sebagai bagian wilayahnya kemungkinan besar tidak memiliki energi yang cukup untuk mengatasi jarak geografis ini sehingga cenderung membiarkan Simeulue sebagai pulau terbelakang yang minus infrastruktur. Untunglah, ada sekelompok orang yang berani memperjuangkan pulau ini menjadi sebuah Kabupaten.

Jika berangkat dari Medan menuju Simeulue maka waktu yang dibutuhkan untuk melampaui laut lebih lama daripada daratan. Disamping itu, laut yang memisahkan daratan Sumatera dengan Simeulue sering memiliki gelombang besar sehingga sulit dilayari. Salah satu penyebab mengapa kelangkaan BBM sering terjadi adalah karena kapal pengangkut BBM tidak mampu melewati gelombang laut yang besar tersebut.

Artinya, jika Simeulue dijadikan sebagai tujuan wisata oleh pelancong maka angkutan yang paling lancar dan nyaman adalah pesawat terbang. Ini pun masih dengan catatan cuaca tidak buruk ! Dapat dibayangkan, betapa untuk menuju pulau ini saja orang-orang harus terlebih dulu bolak-balik berpikir tentang angkutan yang harus digunakan dengan segala pertimbangan menyangkut uang dan waktu.

Persepsi tentang Pariwisata

Ingat pariwisata, maka tak dapat dihindari orang akan tergoda dengan tumpukan dollar yang digunakan pelancong asing dalam transaksi. Setiap pelaku industri wisata masih lebih melirik pelancong asing ketimbang domestik. Maka tantangan yang dihadapi adalah menyangkut kemampuan memberikan fasilitas dan pelayanan kepada pelancong mancanegara yang seleranya tentu berbeda dengan kebiasaan sehari-hari orang Simeulue dalam memberikan pelayanan publik. Kemampuan memberikan pelayanan adalah tindakan. Sedangkan tindakan adalah produk dari cara berfikir atau sikap yang sangat erat kaitannya dengan persepsi.

Soalnya adalah bagaimanakah persepsi rata-rata masyarakat Simeulue tentang pariwisata ? Pentingkah pariwisata menurut pendapat, perasaan dan pikiran mereka ? Adakah kesadaran pada masyarakat wilayah ini tentang kemampuan industri pariwisata dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan merangsang perubahan ? Tidakkah masyarakat justru sangat kuatir terhadap kehadiran orang-orang luar yang kemungkinan mempengaruhi tata laku hidup masyarakat pulau ini ?

Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diajukan untuk direnungi sebelum diambil langkah-langkah untuk membangun sektor pariwisata. Ketika rata-rata masyarakat Simeulue memang bersikap positif terhadap kegiatan pariwisata, maka tindakan selanjutnya adalah menyusun kebijakan pemerintahan dalam membangun sektor pariwisata. Berdasarkan kebijakan yang dimaksud perlu disusun perencanaan strategik pembangunan pariwisata pulau ini. Pemerintah hendaknya menggugah partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut dengan pertimbangan bahwa pelaku-pelaku kegiatan wisata akhirnya adalah masyarakat juga.

Dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana masyarakat harus melihat kegiatan wisata sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rasa kuatir yang berlebihan tentang kemungkinan pengaruh negatif pariwisata terhadap tata laku masyarakat perlu ditepis dengan mengedepankan kegiatan penyadaran dan pembinaan wisata terhadap masyarakat. Masyarakat Simeulue tidak perlu menutupi segala kelebihan dan kebaikan yang mereka miliki. Sebaliknya, harus membuka diri dengan menunjukkan segala nilai-nilai keindahan dan kebajikan yang terkandung dalam dirinya terhadap masyarakat pelancong. Simeulue yang ramah dan aman tanpa pencoleng perlu ditunjukkan kepada setiap pengunjung. Ketaatan pada nilai-nilai agama sambil menunjukkan rasa persaudaraan dengan pendatang pasti dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat.

Kebijakan Pemerintah

Mari kita telaah bersama. Apakah pemerintah daerah telah memiliki kebijakan tertentu dalam mendongkrak sektor pariwisata pulau Simeulue ? Berapa banyakkah dana yang disisihkan pemerintah untuk membenahi dan membina spot wisata dan atraksi budaya yang dimiliki ?

Jika semuanya belum dimiliki, atau belum cukup dimiliki maka itu menjadi pertanda bahwa masyarakat melalui wakil-wakilnya sudah saatnya mendesak pemerintah untuk memberikan perhatian yang cukup terhadap sektor yang tidak pernah dilewatkan gegitu saja oleh pemerintah daerah lain ini. Dukungan awal yang dapat diberikan oleh masyarakat adalah membenahi lingkungannya menjadi wilayah-wilayah yang bersih, indah dan aman bagi para pendatang.

Pemerintah juga perlu memberikan dukungan berupa kemudahan bagi setiap anggota yang berniat mengembangkan usahanya pada sektor pariwisata. Wisata pantai, bersilancar, jungle trip, dan kegiatan berburu binatang pengganggu tanaman rakyat agaknya dapat dipertimbangkan sebagai item wisata yang segera perlu dikembangkan.

Dengan beberapa uraian di atas, tampaklah tantangan-tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan pariwisata Simeulue. Itu pula menjadi sebab mengapa pariwisata Simeulue sulit dieksploitasi jika tidak ada keinginan dan komitmen pada semua pihak, pemerintah daerah maupun anggota masyarakat.

Kalau keinginan dan komitmen telah dimiliki maka tentu perlu dimulai tindakan-tindakan yang diperlukan. Dan setelah itu, segera saja segenap pelaku bisnis wisata mulai berpromosi kunjungan wisata ke pulau terpencil yang indah dan aman, tempat bersahaja dan tentram dari segala kesibukan serta penyakit kota-kota besar. Kita semua segera dapat berujar kepada setiap kenalan: Datanglah ke Simeulue, perawan di tengah Samudera Hindia...

Pejabat versus Pengeritik

Dalam kultur politik kita, terdapat 3 (tiga) fallacy mengenai pejabat yang berimplikasi terhadap tanggapan publik dalam menyikapi perseteruan antara pejabat dengan pengeritik. Ketika seorang pejabat salah langkah menghadapi para pengeritik maka sulit dibendung membanjirnya dakwaan buruk terhadapnya. Ini jelas sangat merugikan, namun sering tidak disadari oleh sang pejabat yang bahkan melangkah lebih jauh dengan segala resources dan privilegenya, yang justru dapat menyebabkan kian mengentalnya tudingan publik bahwa sang pejabat memang arogan.

Jalan bagi seorang pejabat dalam menghadapi pengeritik sebenarnya tidak harus berliku-liku, melainkan lempang dan lurus: bekerja dengan baik sambil mengemukakan data obyektif atas segenap tindakan dan alasan-alasannya. Para pejabat selamanya masih memiliki ruang untuk bersikap “Anjing menggonggong, kafilah lalu” dan bukan “Anjing menggonggong, kafilah ikut menggonggong”. Pantang bagi seorang pejabat yang baik untuk mengejar-ngejar para pengeritik, apalagi memburu dan membidiknya dengan peluru kekuasaan. Legitimasi kekuasaan pejabat salah satunya justru terletak pada kemampuannya menampilkan rasa santun dalam menepis segenap kritikan melalui informasi yang jujur dan obyektif.

Tidak Ada Pajabat yang Bersih

Mari kita uji bersama ! Dalam realitas yang mengkristal di benak publik setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) fallacy mengenai pejabat. Dikarenakan dia berupa fallacy maka tidak ada kekuasaan resmi manapun yang mampu menggugatnya. Yang bisa dilakukan adalah ibarat meniti buih: berhati-hati sambil tetap menggunakan kekuasaan untuk realisasi nilai-nilai untuk apa kekuasaan itu disediakan.

Pertama, tidak ada pejabat yang mendapatkan jabatannya secara bersih. Fallacy ini pasti menyakitkan bagi setiap orang yang saat ini sebagai pejabat. Apalagi seseorang pejabat yang bersih. Namun, jika terdapat pemikiran publik yang keliru, siapakah yang mampu memperbaikinya ? Ulamakah, cendikiawankah, premankah atau peraturan/kebijakan ? Jawaban yang dapat diperoleh melalui sejarah adalah memperbaiki penampilan kekuasaan, atau sebaliknya memberangus mereka yang dianggap keliru dengan alat-alat kekuasaan seperti yang dilakukan Hitler atau Pol Pot. Atau seperti yang sempat terjadi dalam sejarah politik kita, pemerintahan orde baru ternyata dapat menggunakan semua yang disebut di atas secara sekaligus termasuk ulama, cendikiawan maupun preman. Sisa-sisa dari cara-cara yang digunakan orde baru ini sangat perlu dikikis karena tidak sesuai dengan semangat jaman yang menyertai kehadiran era reformasi di negeri kita.

Pengeritik Lebih Populer daripada Pejabat

Fallacy yang kedua adalah pengeritik akan lebih populer daripada pejabat. Dalam setiap perseteruan antara pengeritik dengan pejabat, sialnya pada detik-detik yang paling dini pengeritik lebih sering diuntungkan ketimbang pejabat. Sejak start dimulai, mereka lebih sering dipandang sebagai pejuang ketimbang pecundang. Ini juga bisa diuji bersama ! Jika seorang pejalan kaki adu mulut dengan seorang pemilik mobil mewah nomor polisi merah di pinggir jalan, orang yang belum memahami duduk perkara segera akan memberi pembelaan terhadap sang pejalan kaki. Ini dosa siapa ? Mengapa seorang pejabat segera harus ditempatkan sebagai pesakitan ? Kita tidak mampu menggugat “ketidakadilan” ini. Nasehat dari kaum bijak dalam tradisi/kultur politik kita adalah pemegang kekuasaan haruslah tanggap sasmita. Kekuasaan itu ibarat api, salah-salah pegang bisa membakar pemiliknya.

Kekuasaan Cenderung Korupsi

Ketiga, kekuasaan cenderung korupsi. Fallacy ini sering dilanjutkan dengan tafsir lanjutan: kekuasaan cenderung arogan; kekuasaan cenderung menutupi kesalahannya; dan kekuasaan cenderung dijadikan alat pemaksa/penindasan. Betapa tidak terperinya nasib seorang pejabat yang saleh ketika berhadapan dengan fallacy ini.. Maka barangkali, salah satu tugas tambahan dari setiap pajabat adalah membuktikan dirinya tidak korupsi. Tentu saja, secara santun dan bermartabat; bukannya secara arogan, menutup-nutupi atau memaksa orang untuk percaya.

Lingkaran Pejabat

Dalam tradisi analisis politik di negeri kita istilah lingkaran kekuasaan demikian populer. Menyertai itu kemudian muncul istilah lingkaran pertama, lingkaran kedua dan selanjutnya. Kisah kejatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenan yang menjadi pelajaran berharga bagi setiap pejabat, para pengeritik ketika itu banyak memfokuskan sorotannya pada lingkaran sekitar Gus Dur. Saat itu, digambarkan bahwa orang-orang di sekitar Gus Dur banyak yang berperilaku tidak pantas. Perilaku ini selanjutnya digembar-gemborkan telah merugikan negara. Perlahan tapi pasti dukungan terhadapnya kian menyurut, walau aktivis LSM umumnya masih mendukung.

Maka hikmah yang dapat dipelajari dari semua itu adalah seseorang pejabat wajib menjaga keagengannya. Salah satu upaya yang penting adalah menjaga agar kendali terhadap setiap lingkaran termasuk lingkaran dalam harus dikuatkan. Pembusukan terhadap kekuasaan justru sangat sering terjadi pada lingkaran-lingkaran ini.

Sebagai perbandingan, dalam tradisi analisis kekuasaan versi kebudayaan Jawa pusat kekuasaan sering digambarkan sebagai api. Secara berurutan digambarkan bahwa energi panas terpancar mulai dari lingkaran dalam, lingkaran satu, lingkaran dua dan seterusnya. Kekuatan pancaran kekuasaan akan sangat bergantung pada magnitude kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pejabat. Lingkaran yang paling panas adalah yang paling banyak memperoleh keuntungan. Pada lingkaran tepian hampir-hampir tidak terasa pancaran energi panas.

Kendali yang efektif dari seorang pejabat secara berurutan juga kian menipis hingga batas-batas sampai mana energi panas terpancar. Daya tebar kepatuhan akan mulai surut jika lingkaran kian menjauh dari sang pejabat. Komunikasi yang dijalin dengan lingkaran jauh kian lama lebih bercorak komunikasi publik ketimbang komunikasi kelompok. Maka setiap penistaan yang dilakukan oleh seorang pejabat terhadap lingkaran tepiannya akan menjadi sorotan publik. Sayangnya, amat terbatas kemampuan seorang pejabat menebar pesona komunikasi jika telah menjangkau wilayah publik. Publik yang kian cerdas juga ternyata tidak senantiasa mampu bersikap fair, karena benak mereka terlanjur terpenjara oleh fallacy-fallacy yang telah dikemukakan di atas. Maka, berkuasa memang ibarat meniti rebung. Wajib tanggap sasmita !

Saturday, November 10, 2007

Menatap Yogya dari atas Roda-roda

Setelah Yogyakarta saya tinggalkan sejak tahun 1986, pada akhir bulan Maret 2004 ini saya kembali mengunjungi Yogyakarta dalam rangka mengikuti acara Workshop Policy Analysis yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan dan Kebijakan UGM. Selama dua pekan di sini, saya mencatat berbagai perubahan yang terlihat berdasarkan pengalaman berkenderaan menyusuri jalanan Kota Yogyakarta yang Berhati Nyaman.
Delapan belas tahun yang lalu, seorang tetangga di Bintaran menyanyikan sebuah lagu dengan dua baris dari lyricnya yang masih saya ingat:
“Yogyakarta kau ramah tapi kejam,
Kau lembut tapi berbisa…dst”
Ternyata Yogyakarta telah berubah. Tidak seperti liric yang dikumandangkan teman itu. Beberapa perubahan itu saya candra dengan mengendarai bus, mobil pribadi dan sepeda motor. Dari atas roda-roda kendaran tersebut saya melintas diseputar Yogyakarta; ngalor-ngidul dan ngulon-ngetan.

Tak Lagi Ramah
Seorang teman yang sesama alumni UGM namun telah bermukim kembali selama 4 tahun ini di Yogyakarta, saya ajak berjalan-jalan sambil bernostalgia mengenang masa-masa lalu semasih menjadi mahasiswa. Kesan awal adalah lalu lintas Yogyakarta tak lagi ramah dan mulai serasa mengancam. Deru tarikan gas sepeda motor yang bergerak seperti berlomba setiap kali dapat membuat kita tersentak. Dari atas bus dan mobil pribadi, sentakan suara tarikan gas tersebut tidak terasa. Namun, jika mengendarai sepeda motor we lha. Kemungkinan, itu yang menyebabkan mengapa masyarakat Yogyakarta sekarang ini lebih tergoda untuk memiliki mobil pribadi.
Temanku menyatakan pandangannya, jika berkendaraan merupakan wujud kebudayaan maka gaya berkendaraan yang mode sekarang ini bukan merupakan bagian perwujudan kebudayaan atau kultur Jawa. Apalagi kebudayaan segi-tiga emas Jawa (Yogyakarta-Solo-Semarang) yang terkenal ramah dan santun penuh unggah-ungguh. Jika lalu-lintas mulai tak ramah, maka itu sebagian besar sumbangan pelajar/mahasiswa pendatang dari seluruh Nusantara yang sekaligus juga ikut menyumbang terhadap geliat ekonomi masyarakat. Jadi, Yogyakarta menerima tumpahan yang besifat positif maupun negatif. Untuk tumpahan yang bersifat negatif, Yogyakarta menjadi semacam “keranjang sampah” menerima perilaku-perilaku buruk yang dibawa para pendatang. Perilaku positif maupun negatif bentukan baru hasil interaksi antar sesama pendatang maupun antara pendatang dengan masyarakat setempat juga akan tinggal dan menjadi warna baru Yogyakarta. Untuk hal ini diuji kemampuan kultur Yogyakarta yang pada hakekatnya memiliki daya tahan sekaligus daya adaptasi terhadap setiap unsur yang berbau asing.
Dalam berlalu-lintas daya tahan budaya Jawa ternyata tidak sekuat daya tahannya dalam hal berbahasa, bertata-krama dan menjaga wibawa. Gejala tersebut sekaligus menandai bahwa desakan pengaruh luar ternyata teramat sulit dihempang, walau dalam berbagai hal lain Yogyakarta masih lebih ramah dari kota-kota besar lainnya di Indonesia. Gaya layanan dan tarif produk khas Yogyakarta, seperti makan gudeg lesehan di Malioboro, makanan untuk oleh-oleh dan beberapa produk kerajinan tangan telah mulai bergaya “berorientasi eksport”, bertarif kualitas eksport, dengan harga yang lebih mahal pula. Ini juga merupakan bagian dari ketidakramahan Yogyakarta masa kini. Keramahan dan kemurahan masa lalu telah mulai berubah menjadi cenderung bersemangat lomba memupuk keuntungan ala kapitalis global.
Adakah yang salah dengan perkembangan tersebut ? Tentu saja tidak. Semuanya itu menjadi gejala umum di perkotaan besar, termasuk berbagai ekses lain seperti perjudian, komersialisasi seks dan kejahatan/kerawanan keamanan. Namun, Yogyakarta sebagai gudang kaum arif dan intelektual harus mampu menghindar dari gejala umum yang merugikan tersebut, sehingga tetap sebagai tempat yang unik dan menggoda hati untuk mengunjunginya.

Masih Lembut Tapi Berbisa
Soal kelembutan, Yogyakarta masih tetap lembut pada lingkungan kampung. Namun cenderung berbisa seperti layaknya kota besar lain, pada lingkungan jalan raya. Dari salah satu hotel saya saksikan keluar seratusan anak muda dengan menaiki sepeda motor. Dari orang-orang sekitar, saya dapat info bahwa anak-anak muda tersebut baru selesai menghadiri pesta temannya yang merayakan hari ulang tahun di hotel. Wah, ini juga sesuatu yang teramat jarang terdengar di masa lalu. Apalagi penampilan para anak muda yang lumayan mirip dengan anak muda pada cerita film western. Raungan mesin sepeda motor yang digas kuat-kuat, riuh rendah terdengar memekakkan telinga. Tapi toh semua itu belum sebegitu mengkuatirkan dibandingkan dengan kota-kota besar lain seperti Jakarta, Surabaya, Semarang atau Medan.
Saya juga dengar bahwa kenakalan remaja juga telah meningkat dengan munculnya gang remaja belia yang sering terlibat tawuran. Gejala ini malahan telah menumbuhkan kekuatiran pada kalangan mahasiswa yang termasuk kelompok tekun belajar. Mereka menganggap kenyamanan Yogyakarta sebagai kota tempat menuntut ilmu kian terancam. Kini niat untuk bersantai sambil mengingat-ingat pelajaran di pinggir jalan seusai belajar keras di rumah kost kian padam. Kuatir terseret tawuran secara tidak sengaja.
Turun dari Pakem menuju Yogyakarta, kami nyelusup-nyelusup melalui perkampungan yang pada masa lalu jalannya masih belum beraspal. Namun, kini jalan-jalan yang dilalui seluruhnya telah beraspal, dan rumah-rumah di sepanjang jalan seperti tiba-tiba tumplek bheg muncul. Siapa yang bermukim di rumah-rumah yang baru maupun kompleks perumahan yang muncul ibarat jamur tersebut ? Dari teman, saya dapat info tidak hanya di wilayah menuju Kaliurang saja, melainkan hampir di seluruh wilayah kota Yogyakarta (kecuali di sekitar Piyungan) pemukiman berkembang pesat. Pemukim baru itu umumnya adalah para pendatang/mahasiswa, mereka yang membuka usaha melayani kebutuhan mahasiswa, mereka yang berusaha mereguk keuntungan dari sektor bisnis properti dan mereka yang berniat menjalani pensiun di Yogyakarta.
Barangkali ada benarnya, Yogyakarta beranjak menuju metropolitan disertai dengan segenap penyakit masyarakat kota metropolitan di Indonesia. (Baca Tulisan Adde Marup Wirasenjaya, Kompas Edisi Jateng & Yogyakarta, 5 Maret 2004) Gejala ini yang menimbulkan kekuatiran, yakni Yogyakarta lebih banyak bisanya daripada lembutnya.
Mungkin saya harus mengurungkan niat untuk mengirim anak melanjutkan sekolah di kota yang kian berbisa. Dan, mudah-mudahan tidak banyak anggota masyarakat Indonesia yang pasang ancang-ancang seperti itu.
Harus Tetap Ramah dan LembutDua hal penting daya tarik Yogyakarta adalah pendidikan dan pariwisata. Aspek lainnya lebih merupakan hasil spread effect dari kedua kegiatan tersebut. Yang menjadi persoalan adalah agar bidang-bidang yang tumbuh sebagai forward dan backward effect tidak justru menghancurkan kedua bidang utama di atas. Gejala meningkatnya biaya hidup sebagai akibat peningkatan harga-harga sewa kost maupun makanan sehari-hari, peningkatan biaya pendidikan secara tajam, peningkatan kemacetan lalu lintas, peningkatan kriminalitas, peningkatan ketidakramahan dan ketidaklembutan masyarakat harus dicermati sejak dini. Yogyakarta harus tetap ramah dan lembut untuk menjadikannya sebagai kota yang paling ingin didatangi oleh pelajar maupun pelancong. Pemerintah Daerah kelihatannya cukup tanggap mengantisipasi masalah-masalah tersebut pada tingkat wacana. Namun tentu tidak layak jika hanya berhenti pada wacana. Langkah-langkah berikutnya adalah tindakan. Menata Yogyakarta agar tetap nyaman dan menjadikan orang yang pernah tinggal untuk tetap ingin kembali berkunjung, melanjutkan studi atau mengirim anaknya untuk studi.

Masyarakat Harus Ikut Bicara !

INILAH bagian dari wajah baru Indonesia, sebuah wajah yang sebenarnya tidak disukai sebagian besar rakyat Indonesia. Selama setahun terakhir, rakyat harus "capek" menonton pertunjukan permainan panggung kaum elite memainkan peranannya dalam lakon dendam politik. Rakyat banyak yang sebagian besar hanya berlakon sebagai penonton yang diam seribu bahasa dan melalui berbagai proses selanjutnya seolah-olah mengamini berlangsungnya lakon dendam tersebut.Saat-saat terakhir ini rakyat Indonesia seolah-olah telah kehilangan kendali atas proses-proses politik yang berlangsung di Jakarta. Pilihan atas situasi kian dipersempit menjadi hanya satu pilihan, yaitu: mendukung lengsernya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atau ikut dalam pertikaian besar pembelaan bangsa menjadi massa pro Gus Dur atau massa anti Gus Dur.
Tulisan ini ingin menyatakan bahwa (rakyat) Indonesia telah terlanjur hanyut terbawa gelombang pertikaian politik yang sebenarnya tidak diinginkan. Namun, karena elite politik telah membuka tanggul pertikaian tersebut, maka ibarat air, pertikaian tidak dapat dikembalikan ke tempat semula bahkan mengalir deras menghanyutkan semua yang ada di dalamnya. Pada masa depan, untuk menghindari peristiwa yang sama sudah saatnya rakyat harus bicara, harus aktif menghempang setiap upaya awal yang dapat menghanyutkan negeri ini.

Tuak baru dalam guci tua
Gerakan reformasi sebenarnya telah gagal sejak dini, ketika dalam pembentukan pemerintahan yang baru para pelopor gerakan reformasi gagal mengeliminasikan pengaruh-pengaruh serta orang-orang rezim Orde Baru. Semua orang akan sepakat untuk menyatakan bahwa "orang-orang" Orde Baru amat berkepentingan dengan "sistem" pemerintahan yang "lama".
Ketika mereka dengan caranya ternyata masih "harus" diterima ikut manggung dalam pentas perpolitikan negeri ini, dengan sekuat tenaga mereka menjaga tatanan harus yang berkaitan langsung dengan kepentingannya. Sebaliknya orang-orang "baru" dikarenakan kelemahan-kelemahannya harus beradaptasi dengan tata cara "lama".
Kelemahan-kelemahan ini terus berlanjut hingga hari ini tanpa upaya-upaya yang serius untuk memperbaikinya. Bahkan untuk mengungkapkannya saja tidak ada orang yang begitu perduli. Lantas segenap bangsa ini hanya hanyut oleh arus besar itu.
Mengikuti pandangan Arnold J Toynbee, para creative minorities bangsa ini kehabisan energi untuk beradaptasi serta tidak memiliki energi sisa untuk menciptakan dan memulai peradaban baru. Toynbee menggambarkan kondisi tersebut sebagai "Tuak Baru dalam Guci Tua".
Ciri utama kondisi ini adalah kemandulan sosial (social enormity), yaitu sebuah kondisi di mana suatu masyarakat benar-benar kehabisan energi dan tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang mereka hadapi. Kondisi ini akan diperburuk lagi oleh cuaca "mabuk kemenangan" di mana kelompok-kelompok baru yang telah berhasil menggulingkan kekuatan-kekuatan lama mulai bersikap ingin merasakan nikmat atas keberhasilan mereka. Tantangan-tantangan baru mengalir begitu saja, sementara mereka sibuk berbagai jatah atas keberhasilan mereka.
Kompromi-kompromi politik yang demikian banyak diciptakan sebagai wacana selepas masa pemerintahan BJ Habibie sebenarnya lebih pas dipandang sebagai cuaca "mabuk kemenangan" tersebut.
Dalam pentas politik Indonesia saat ini, dapat disaksikan betapa kelompok Poros Tengah, kelompok PDI Perjuangan, kelompok Partai Kebangkitan Bangsa merupakan kekuatan-kekuatan baru yang selanjutnya harus takluk pada kondisi kompromi dengan kelompok Golkar bersama dengan kelompok-kelompok binaannya.
Jika dilihat dari sajian televisi, koran dan majalah yang setiap hari menjadi santapan bangsa Indonesia, Ketua Umum Partai Golkar telah kembali menjadi tokoh politik yang penting dan paling jumawa dalam memainkan perannya. Hal ini dikarenakan, mereka telah berhasil menampilkan kembali gaya, strategi, dan tatanan lama menjadi bingkai setiap orang untuk menilai proses-proses yang terjadi belakangan ini.
Dalam wacana politik yang terbaru, bukankah kata-kata "sesuai, sejalan dan sah menurut konstitusi" telah kian biasa digunakan? Bukankah tafsir terhadap konstitusi sebagai mana yang sering diungkapkan kembali meniru gaya lama?
Menyadari "kondisi" ini, maka menjadi sangat penting saat ini, sebelum masyarakat hanyut semakin jauh. Sangat perlu diantisipasi dan dihindari berlangsungnya kondisi di mana masyarakat seolah-olah merasa bahwa gerakan reformasi telah menghancurkan negara serta menjadikan rakyat menderita berkepanjangan.

Masyarakat diam
Yang mencolok dari situasi di atas bahwa mereka yang berbicara dan akhirnya bertengkar adalah orang-orang yang berada di Jakarta. Ketenangan dan kedamaian Indonesia seolah-olah tergantung pada mereka. Padahal Indonesia demikian luasnya dan bukan hanya Jakarta. Terasa tidak adil, jika pertengkaran di Jakarta akhirnya harus menjadi beban segenap masyarakat Indonesia.
Pada masa lalu, ada ilmuwan politik yang menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung sebagai masyarakat "diam". Proses-proses politik sepenuhnya hanya berlangsung dan dikendalikan sekelompok kecil elite. Kondisi ini adalah hasil rekayasa rezim yang berkuasa yang otoriter, untuk melanggengkan kekuasaan rezim tersebut menjadikan proses politik sebagai suatu proses "berbahaya" dan tidak perlu didekati oleh masyarakat.
Namun, ketika rezim lama telah dilengserkan, demokratisasi telah dicanangkan sebagai salah satu tujuan. Sehingga, amat disayangkan jika di tengah perjalanan menuju demokratisasi, masyarakat justru tetap tidak ikut ambil bagian dalam menentukan wajah baru negara Indonesia.
Amat disayangkan, jika dalam proses politik, yang terjadi adalah politik partai yaitu proses-proses politik yang sepenuhnya dikuasai oleh partai-partai dan hanya untuk diperjuangkan kepentingan partai politik.
Jika diperhatikan secara seksama, maka gelombang demonstrasi massa yang demikian sering terjadi pada era reformasi belum menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai berbicara menyatakan keinginannya. Terlalu banyak informasi yang menyatakan bahwa demonstrasi-demonstrasi lebih sering terjadi karena digerakkan oleh kaum elite di pusat untuk kepentingan mereka. Rakyat yang turut serta berdemonstrasi lebih dikarenakan mendapat upah untuk sesuap nasi. Anggota masyarakat sebenarnya lebih dieksploitasi akibat kelemahan mereka secara ekonomis ketimbang dididik agar lebih mampu berbicara atas nama kepentingannya.

Pemimpin di daerah harus bicara
Jika disepakati bahwa konflik antarkaum elite di pusat telah menyebabkan masyarakat menghadapi masalah-masalah ketidakpastian dalam hal keamanan, dimiskinkan oleh peningkatan kurs dollar AS, maka perlu disepakati pula agar masyarakat pun perlu "terjun" untuk ikut ambil bagian dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Pemimpin di daerah semestinya tidak diam seribu bahasa seperti yang terjadi selama ini. Sebaliknya, mereka mesti ikut aktif menawarkan alternatif-alternatif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi para elite di Jakarta.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah para gubernur di daerah perlu membuat kesepakatan atas keprihatinan yang terjadi. Jika perlu, bisa ditambah lagi dengan kesekapatan oleh para bupati. Intinya adalah bahwa berbagai suara yang menyatakan agar elite pusat menghentikan pertikaiannya, diangkat oleh pemimpin daerah tersebut.
Perlu pula dinyatakan oleh mereka bahwa pertikaian kaum elite pusat sedikit pun tidak menyentuh kepentingan langsung masyarakat di daerah dalam memperbaiki situasi keterpurukan ekonomi yang sedang dihadapi.
Para pemikir yang banyak diberikan kepercayaan untuk menyatakan pendapatnya melalui media massa juga harus memberikan apresiasi atas kesepakatan yang mungkin terbentuk oleh para pemimpin daerah. Sebab diakui atau tidak, kondisi yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini juga ikut diperkeruh oleh para pemikir yang cenderung tidak mampu memberikan paradigma baru dalam mengevaluasi permasalahan yang timbul. Kecenderungannya selama ini mereka malah menyeret masyarakat pada suatu paradigma seragam bahwa masalah bangsa Indonesia saat ini adalah karena Gus Dur. Dan seolah-olah masalah yang timbul hanya bisa diselesaikan oleh para elite yang ada di pusat tanpa menyertakan para pemimpin daerah.
Para pemimpin daerah juga memiliki kekuatan pemaksa jika mereka bersedia menggunakannya. Bukankah para pemimpin daerah setiap saat dapat menyatakan bahwa mereka melepaskan diri dari koordinasi pemerintah pusat sampai mereka mampu menyelesaikan pertikaiannya?
Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada hari Selasa 29 Mei 2001, bahkan telah menyatakan daerahnya terlarang bagi elite politik dan antek-anteknya yang ingin meletupkan keinginan kepentingannya di depan massa (Kompas, 30 Mei 2001, hlm 6). Ini merupakan salah satu sikap yang dapat ditunjukkan oleh para pemimpin daerah untuk membela kepentingan daerahnya.
Akhirnya kesepakatan apa pun yang dihasilkan oleh para pemimpin harus senantiasa mendasarkan kepentingan tersebut pada sebuah pertimbangan utama, yaitu bahwa masyarakat sudah sangat memerlukan perbaikan dalam bidang ekonomi, dan sudah sangat bosan dengan potensi ancaman keamanan yang pada gilirannya akan dapat meledakkan perlawanan terhadap kaum elite.