Friday, June 20, 2008

Siapakah yang akan Dipilih ?

Pemilihan Gubernur Sumatera Utara kali ini terasa istimewa. Ini adalah pertama kalinya masyarakat secara langsung memilih sendiri Gubernurnya. Masyarakat yang pada sistem pemilihan lama banyak menuding bahwa pemilihan yang dilakukan oleh para anggota DPRD tidak mewakili aspirasi, akan diuji kemampuannya untuk memilih calon terbaik.

Apakah masyarakat mampu memilih calon terbaik ? Jawabannya akan ditemukan beberapa hari setelah tanggal 16 April 2008. Jawaban yang paling nyata adalah ketika Gubernur terpilih mulai bertugas. Disitu akan dapat dilihat apakah dia menjalankan kewenangannya sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat ataukah kepentingan dirinya sendiri.

Karena itu, sebelum memilih ada baiknya kita mengingat-ingat kemungkinan beberapa jebakan yang menyebabkan kita salah dalam memilih.

Primordialisme

Jebakan pertama yang dapat menyebabkan masyarakat tidak berhasil calon yang terbaik adalah paternalisme. Beberapa pengamat di Sumatera Utara telah wanti-wanti atas kemungkinan jebakan ini. Ada yang mengkalisifikan bahwa bahwa masyarakat Sumatera Utara bukanlah partisipan yang rasional, melainkan cenderung parokial. Maka para pengamat mulai membuat hitung-hitungan atas kemungkinan peran faktor etnisitas dan label agama.

Hitung-hitungan semacam ini belum pasti benar. Kelompok-kelompok agama telah semakin dewasa. Mereka kian telah mampu memisahkan antara label agama dengan perilaku kekuasaan. Telah terlalu banyak bukti untuk menunjukkan bahwa seseorang akan membelakangi ajaran agamanya ketika berhadapan dengan kepentingan praktis kekuasaan.

Kelompok-kelompok etnik juga cenderung tersekat-sekat karena berbagai pertimbangan. Masyarakat Sumatera Utara yang mengalami pembelahan saling silang secara sosial tidak dengan sendirinya akan memilih calon dengan etnisitas yang sama. Skenario lain adalah faktor pengalaman masa lalu memiliki pemerintah yang kentall dengan ikatan etnisitas sehingga ada nama-nama yang berasal dari etnik tertentu justru berusaha dihindari. Disamping itu, perlu diperhatikan bahwa di Sumatera Utara tidak ada etnik yang dominan yang gabungan suaranya pasti dapat memenangkan calon. Apalagi, ada beberapa calon dari pasangan calon yang berasal dari etnik yang sama. Sehingga suara kelompok etnik yang dimaksud juga akan menyebar.

Namun, berdasarkan info dari “curi-dengar” beberapa diskusi di warung pinggir jalan, obrolan antartetangga, hingga obrolan di kantor tampaknya jebakan primodialisme tiba-tiba bisa berpengaruh. Kalau faktor ini berpengaruh maka peluang terpilihnya calon yang “not excellent” bisa terjadi.

Money Politic

Jebakan lainnya adalah politik uang (money politic). Jika masyarakat memang benar-benar dapat dikendalikan dengan uang, maka jelas masyarakat akan memilih mereka yang paling “pemurah” menghambur-hamburkan uang. Namun ada kasus pemilihan, dimana pemilih ternyata tidak tergoda dengan uang. Mereka terima uang, namun mereka pilih sesuai dengan nuraninya.

Perlu dicermati juga bahwa petugas penghitung suara dan pengawas bisa ikut melakukan penyelewengan dalam penghitungan untuk memenangkan calon yang “membeli”nya.

Kekerasan

Ada jebakan lainnya yakni ancaman kekerasan. Ini bisa mengenai kelompok pemilih, pertugas penghitung suara atau pejabat KPUD. Pemilu pada masa orde baru sering dituding diwarnai oleh faktor ini. Sehingga orang memilih bukan atas dasar kesadaran atau preferensi pribadi melainkan dibawah tekanan. Petugas penghitung bisa secara sengaja membuat penghitungan yang keliru juga karena berada dibawah tekanan.

Tekanan yang sama bisa terjadi terhadap masyarakat pemilih. Upaya yang dilakukan untuk menghindarinya adalah berusaha ikut larut kedalam kelompok-kelompok sosial, termasuk kelompok ketetanggaan. Bersama-sama dengan kelompok dapat dibangun kesepakatan untuk saling menjaga walaupun preferensi pilihan kemungkinan berbeda.

Pihak kepolisian telah menyatakan sikap tegas bahwa tidak akan memberikan toleransi terhadap pelaku kekerasan. Terbetik kabar bahwa penembak jitu juga telah disiapkan untuk mengantisipasi munculnya kekerasan.

Siapa yang layak Dipilih ?

Ada beberapa pertimbangan yang perlu dicermati sebelum menentukan siapa yang akan dipilih. Sebatas informasi yang dimiliki atau bahkan perlu ditambah terus-menerus adalah informasi rekam jejak semua calon. Latar-belakang pribadi, pekerjaan hingga kebiasaan-kebiasaannya serta orientasi kemasyarakatannya perlu dijadikan pertimbangan. Jika sang calon menyatakan sangat komitmen dengan pembangunan, maka perlu diketahui tindakan-tindakan yang telah dilakukaknnya dalam memberantas korupsi, menghindari kolusi dan nepotisme. Prestasi apakah yang telah ditunjukkan yang secara signifikan telah memperbaiki kehidupan masyarakat.

Perlu pula diketahui bahwa sang calon tidak sedang menggunungkan hutang selama mengikuti proses Pilkada. Semua orang tahu bahwa jika ada hutang semasa Pilkada, maka pembayaran utang pasti bersumber dari pekerjaan dan jabatannya. Informasi semacam ini mudah diperoleh dari rekanan kerja sang calon selama ini. Melalui rekanan kerjanya ini para pemilih dapat mengetahui apakah sang calon termasuk ganas atau tidak melahap anggaran pembangunan. Terkadang bisa pula diperoleh informasi tentang orang-orang yang menalangi segenap biaya atau belanja yang diperlukan sang calon selama melakukan hubungan dengan partai politik, sosialisasi hingga kampanye.

Pertimbangan lainnya adalah menyangkut visi sang calon terhadap reformasi birokrasi. Sebagian besar orang tahu bahwa masalah yang paling besar dalam pemerintahan kita adalah keburukan birokrasi pemerintahan. Hingga saat ini kita belum memiliki birokrasi yang berdisiplin, effisien dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Maka calon yang memiliki visi yang jelas dan terukur dalam hal reformasi birokrasi tentu perlu dipertimbangkan untuk dipilih.

Akhirnya, beberapa hari lagi kita akan memilih. Pilihan kita menentukan masa depan Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun ke depan. Mari bersama-sama menjadikan masa depan adalah milik kita, bukan milik penunggang-penunggang kekuasaan mempertunjukkan sepak-terjangnya dan berpesta-ria dengan segala kemewahan yang kian memiskinkan rakyat.

Wednesday, June 4, 2008

Antara Medan dan Yogya

Beberapa bulan yang lalu, ada seorang teman dari Yogya datang ke Medan. Katanya, selama sebulan dia akan berada di Medan untuk melakukan penelitian tentang desentralisasi pemerintahan. Walau Undang-uindang tentang pemerinahan daerah telah diperbaharui dengan UU No.32/2004 dirasakan bahwa pemerintahan kita (termasuk pemerintahan daerah) belum semakin bagus kinerjanya. Bahkan permasalahan masih saja muncul sejalan dengan bertambahnya kebijakan dan tindakan pemerintah. Menurutnya, melalui penelitian tersebut akan dapat diidentifikasi berbagai permasalahan otonomi daerah serta karakteristiknya di setiap daerah yang menjadi objek penelitian. Issu pelayanan publik, akuntabilitas, transparansi, partisipasi, serta konflik di daerah akan dicermati dan data-data hasil penelitian akan dikelola menjadi data-base desentralisasi di Indonesia.

Sesampainya di hotel, dan setelah selesai memberesi barang-barang dan tas, kami pergi makan soto dan minum juice Terong Belanda ke salah satu warung soto terkenal di jalan Gatot Subroto Medan. Komentarnya, Soto Medan rasanya lebih “meriah” daripada soto yang dijual di Yogya. Santannya lebih pekat, dan bahan bumbunya lebih beraneka macam. Sedangkan, juice Terong Belanda rasanya asam, tapi citarasanya khas dan “uenaaak”.

Pohon Pinggir Jalan

Sepulang makan soto, kami melewati jalan Sudirman kota Medan, teman itu berkomentar: ”Seharusnya setiap kota mempertahankan suasana jalan seperti ini!” sambil menunjuk pada lalu lintas yang teratur dan rapi, serta pohon-pohon mahoni yang tumbuh subur di kiri dan kanan jalan, yang memberikan tempat berlindung dan mencurahkan rasa sejuk kepada setiap insan pengguna jalan. Dia kemudian melanjutkan komentarnya, bahwa Yogya sangat miskin pohon-pohonan di pinggir jalan. Walau di kota itu turis suka berjalan kaki, namun masyarakat Yogya justru lebih suka tidak berjalan kaki, menghindari sengatan matahari yang membuat kulit menjadi cokelat legam.

Saya teringat, dulu di jalan Malioboro berderet pohon palm yang rindang yang menambah daya pikat untuk berjalan sepanjang jalan sambil menikmati souvenir hasil kerajinan tangan yang dipajang sepanjang emperan toko. Namun pada tahun 1980an, palm-palm tersebut harus ditebang dengan alasan pembangunan/pengembangan wilayah Malioboro. Berbagai protes dari masyarakat termasuk almarhum Romo Mangun tidak digubris. Pada segmen lain di kota Yogya, dulu di Jalan Pangeran Senopati, khususnya di seputaran Kantor Pos hingga Shopping Centre; jalan terasa sejuk-dingin karena kerindangan pohon di kiri dan kanan jalan. Semoga saja wilayah itu masih tetap sejuk, asri dan adem.

Saat ini, di jalan protokol di sekitar dan hingga stadion Kridosono; juga pada beberapa titik di Kompleks UGM Bulak Sumur, kita dapati pohon-pohon rindang yang memberikan suasana keteduhan. Tapi semua itu hanya terasa hanya secuil dibanding keseluruhan luas wilayah dan panjang ruas jalan yang ada di Yogya. Begitu juga di Medan, wilayah di sekitar Jalan Sudirman juga hanya secuil, dibanding keseluruhan wilayah kota yang miskin pepohonan. Yogya dan Medan tidak jauh berbeda menyangkut perkara pohon di pinggir jalan.

Kelihatannya, juga masih secuil jumlahnya pemerintahan kota yang begitu peduli dengan urusan pohon-pohonan ini. Bahkan, belakangan ini terbetik berita bahwa di kota-kota juga terjadi penebangan liar. Biasanya penebangan liar terjadi di hutan, tetapi kali ini penebangan liar terjadi di kota ! Yaitu penebangan terhadap pohon-pohon pelindung di pinggir jalan. Hingga hari ini, belum ada kota di Indonesia yang memberikan perlakuan khusus terhadap upaya-upaya melindungi kawasan hijau, atau merangsang masyarakat untuk menjaga dan menanam pohon. Tentu sudah banyak yang mengajukan pemikiran agar diberikan insentif bagi setiap masyarakat atas setiap pohon yang ditanamnya. Namun kalau pun ada masih secuil kebijakan untuk mengakomodasi gagasan tersebut.

Buaya dan Pohon

Pada hari lain, sang teman dari Yogya itu minta diajak untuk menikmati the other side of Medan. Saya ajak dia jalan-jalan ke Asam Kumbang, taman buaya yang merupakan salah satu spot wisata kota (city tours) yang ada di Medan. Di sana para pengunjung dapat melihat bagaimana buaya-buaya peliharaan saling berlomba merebut dan menyentap bangkai ayam yang dilemparkan petugas. Pemandangan itu serasa memberi keasyikan tersendiri walau terkadang terasa mengerikan. Namun dalam perspektif yang berbeda, terlihat proses daur ulang terhadap sampah (bangkai ayam) berjalan demikian cepatnya, tanpa menggunakan mesin penghancur sampah canggih yang konon harganya cukup mahal. Disamping itu, pengunjung juga dapat menyaksikan berpuluh-puluh “bayi” buaya yang baru menetas, bak cecak, jauh dari bayangan menyeramkan seperti buaya dewasa yang kejam, ganas dan liar. Ketika masih “bayi”, ternyata buaya hanya merupakan makhluk kecil, lemah dan pantas dikasihani.

Teman saya bercerita juga tentang the other side of Yogya juga ternyata menarik. Tempatnya di Alun-alun Kidul. Pada malam hari, banyak orang datang ke sana duduk di sekeliling Alun-alun sambil minum ronde. Beberapa orang sekitar menawarkan penutup mata untuk disewa. Lha, koq penutup mata ?! Ternyata, pengunjung dapat mencoba menutup matanya, kemudian mencoba berjalan lurus agar lewat di antara kedua pohon beringin yang ada di tengah lapangan. Banyak di antara pengunjung ternyata tidak bisa berjalan lurus jika matanya ditutup. Mereka berjalan sambil meraba menjauhi kedua pohon, terkadang malah saling bertubrukan dengan pengunjung lain yang juga menutup matanya. Bagi yang menyaksikan, wew betapa lucu terkadang terasa iba melihat orang berjalan tak tentu arah apalagi bertubrukan. Ketika matanya tertutup ternyata orang-orang tak lebih ibarat orang mabuk, lemah dan pantas dikasihani…

Monday, April 7, 2008

Tokoh-tokoh Politik Lama

Oleh Robinson Sembiring


Dalam politik, kecanggihan strategi dan kepiawaian dalam komunikasi politik mampu menjadikan berbagai kesalahan orang/kelompok di masa lalu menjadi serba relatif. Masyarakat dapat ditelikung dengan relativitas tersebut sehingg menjadi tidak percaya diri, serba salah atau tidak berdaya. Bahkan terkadang harus hanyut untuk menerima dan memaafkan kesalahan tersebut.

Sejujurnya, banyak tokoh atau aktor politik Indonesia saat ini seharusnya merasa malu untuk ikut kembali bermain dalam panggung politik, karena pernah ikut dalam kesalahan rejim orde baru. Namun, kemampuan mereka memposisikan diri berada dalam kesalahan relatif tadi, justru menjadikan mereka tetap merasa terhormat untuk masih ikut ambil bagian dalam proses-proses politik. Kehadiran mereka sebenarnya sudah amat memuakkan khalayak ramai (publik).

Makna Politik

Mengapa mereka masih berjaya dalam arena politik ? Salah satu alasannya terletak pada bagaimana aktor politik dan masyarakat memahami makna politik. Sepanjang pengalaman masyarakat Indonesia dalam berpolitik, jangan-jangan makna politik adalah sama dengan kebohongan, persisnya “royal lie” (kebohongan orang-orang terhormat). Masyarakat Jawa memiliki sebuah konsep khas untuk mengungkapkan hal tersebut yaitu “apus kromo”. Politik mendapat makna seperti itu, karena apa yang paling sering terlihat dalam politik, yaitu ketika orang-orang bicara tentang politik, semuanya tak lebih ibarat berbohong mengiklankan suatu barang/produk tertentu. Iklan yang satu akan mengatakan: Inilah sabun terbaik ! Sementara, iklan yang lain juga mengatakan: Ini sabun terbaik ! Padahal, dalam realitasnya ternyata sabun itu amat boros penggunaanya. Khalayak ramai merasa tidak perlu protes terhadap hal tersebut, karena kebohongan dalam iklan sudah dianggap lazim. Demikian pula halnya ketika suatu kelompok tertentu mengedepankan/menjagokan seorang tokoh, maka anggota-anggota kelompok tersebut akan mengatakan: Dia yang terbaik ! Walaupun untuk itu mereka harus melakonkan sandiwara demi meyakinkan orang banyak. Padahal, sang tokoh yang dimaksud pada masa lalu terlibat dengan sebuah kesalahan besar.

Syahdan, sang tokoh akhirnya terpilih dan sah menjadi pemimpin atau anggota baru dewan legislatif. Aturan perundang-undangan memperbolehkan itu. Dia disambut ramai-ramai, dielu-elukan dan dipuja-puji oleh orang-orang yang benar-benar pemujanya maupun orang-orang yang dibayar untuk memujanya. Semua diliput media massa, dan media massa secara sengaja atau tidak sengaja telah mengaburkan makna ketokohan maupun kebohongan dalam politik. Situasi semacam ini sering terjadi dalam dunia politik, sehingga politik tak lebih dan tak kurang adalah sandiwara, kepura-puraan dan kebohongan. Mereka yang tampil dan melakukannya tak perlu merasa malu, karena semuanya telah menjadi bersifat relatif. Dulu, mereka bisa salah atau keliru. Sekarang, mereka bisa berbuat baik dan beramal, membantu orang-orang yang tertimpa bencana atau mendirikan yayasan sosial. Untuk perbuatan baik ini mereka mendapat kesempatan untuk wawancara yang selanjutnya disiarkan kepada khalayak umum. Penampilan berulang-ulang pada media massa dalam intensitas yang tinggi sering menyebabkan kesalahan masa lalu telah menjadi kesalahan relatif. Dan sebaliknya, kejujuran yang dipertujukkan oleh oleh tokoh yang benar-benar jujur juga telah menjadi kejujuran relatif yang setiap saat bisa diartikan sebagai kebodohan.

Media massa tidak merasa bersalah atas semua perkembangan tersebut. Tugasnya adalah memberitakan apa yang terjadi. Berita yang dijual harus laku agar besok bisa terbit lagi. Masyarakat pun membaca dan mendengar berita, karena mereka membutuhkan berita. Mereka telah terkondisikan menjadi orang-orang yang setiap saat harus mencandra perkembangan yang paling mutahir. Kondisi seperti ini bergulir terus, dan akhirnya sang tokoh dapat melenggang kangkung mencapai tujuannya. Semua menjadi mungkin melalui berbagai peluang yang diperolehnya dengan menggunakan segala macam sumber daya yang dimilikinya. Salah satu sumber daya yang paling sering digunakan adalah uang dan ikatan historis.

Akhirnya, dalam politik seolah-olah tidak perlu bicara kejujuran. Yang diperlukan adalah uang dan kesepakatan. Keduanya dengan mudah dapat dipertukarkan dengan piranti-piranti yang dibutuhkan, termasuk ditukar menjadi ancaman maupun teror. Di TV seringkali muncul tokoh yang ditangkuhkan sebagai pakar berkata-kata bahwa dalam politik tidak penting kejujuran, yang ada adalah strategi (asalkan saja memenuhi persyaratan/prosedur yang ditentukan dalam konstitusi). Segenap strategi dibenarkan selama tidak terperangkap oleh aturan perundang-undangan. Proses-proses politik menjadi tidak perlu menimbang rasa/nilai kemaslahatan publik. Politik adalah macht norming, yakni melulu perjuangan kekuasaan.

Pengertian politik benar-benar telah bergeser dari pengertian yang dikenal dalam kepustakaan ilmu politik. Dalam kepustakaan ilmu politik, politik bukanlah melulu sebagai kegiatan pencapaian kekuasaan, melainkan juga mencakup penggunaan kekuasaan untuk kemaslahatan publik. Sehingga, sekali seseorang telah memperoleh kekuasaan, maka sebenarnya dia juga telah menandatangani hutang berupa kewajiban untuk menggunakannya demi kepentingan masyarakat.

Kegagalan Pejuang Reformasi

Ketidakkompakan elit, dan perpecahan para pejuang reformasi sering dianggap telah menciptakan peluang bagi aktor-aktor politik lama untuk kembali berkiprah lagi. Gerakan kelompok mahasiswa menjadi gerakan tersendiri dan terpisah dari mereka yang dulunya dinyatakan sebagai tokoh reformasi. Bahkan sebahagian telah ditarik kesana kemari melalui “pembelian”. Sangat disayangkan bahwa mereka telah gagal memperjuangkan misi perjuangan “agenda reformasi” dikarenakan berbagai pertimbangan praktis demi meraih kekuasaan. Mereka terkotak-kotak oleh ambisi dan issu yang mereka ingin perjuangkan masing-masing. Upaya memberantas KKN dan pemulihan ekonomi sebagai prasyarat untuk menggapai kemajuan bangsa telah tertinggal begitu saja. Rasa-rasanya, sekarang ini semua pihak masih dirasuki ambisi akan kekuasaan dan uang.

Aktor-aktor politik lama ibaratnya telah menjadi pendekar-pendekar sakti mandraguna dan kaya pengalaman bertanding di lapangan. Mereka memiliki sangat banyak jurus-jurus mematikan dalam kancah pertandingan politik. Mereka juga memiliki emas dan permata yang cukup untuk membiayai segenap piranti yang diperlukan untuk menguasai dunia persilatan politik Indonesia. Disamping itu, mereka juga memiliki pengalaman mengelola organisasi yang lebih baik, sehingga dengan jumawa mampu melakukan terobosan-terobosan. Pada Pemilu yang lalu mereka banyak yang memperoleh suara yang signifikan untuk diangkat sebagai anggota parlemen pusat maupun daerah.

Filter Politik

Perlahan tapi pasti rasanya kita kembali ke masa lalu melalui para pemimpin yang berasal dari masa lalu. Ini seharusnya bukan sebagai pilihan, bahkan seyogyanya dihindari. Jarak calon-calon pemimpin tersebut masih demikian dekat dengan masa lalu, sehingga hubungan-hubungan (kepentingan) lama masih dapat hidup kembali. Filter andalan untuk menghempang kemungkinan tersebut, adalah membangun kesadaran bersama. Namun, perkara membangun kesadaran bersama ini menjadi sesuatu yang amat pelik bagi bangsa Indonesia. Sejak Proklamasi kemerdekaan hingga hari ini, perdebatan terus berlanjut tentang cara mengisi kemerdekaan. Perdebatan panjang itu ternyata tidak menyebabkan perbaikan dalam kualitas keputusan bersama. Apa yang dihadapi Indonesia sekarang ini sebenarnya merupakan cerminan keputusan bersama. Krisis serta kondisi sekarang merupakan cerminan kualitas keputusan bangsa dari masa lalu yang bertali-temali dengan masa lalu.

Agar kondisi ini tidak berlanjut, seharusnya para pemimpin berganti. Teori apa pun yang akan digunakan untuk menjelaskan kondisi Indonesia, suatu hal yang jelas bahwa masyarakat Indonesia ternyata sering dapat berubah jika terdapat pemimpin yang kuat dan mampu mendorong masyarakat. Masyarakat belum terlalu jauh terpisah dengan masa lalunya dengan kecenderungan paternalistik. Pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang secara psikologis dekat dengan masyarakat, pemimpin yang mampu menjadi “Bapak Bangsa”. Kegiatan utamanya adalah memikirkan rakyat, bukan memikirkan partai atau kelompok orang yang telah mengangkatnya.

Pemimpin baru yang dibutuhkan adalah mereka yang tak punya kaitan dengan politik lama dan kesalahan lama, karena jaraknya dengan politik dan kesalahan tersebut belum begitu jauh. Masih terdapat ikatan-ikatan yang sama yang pada lalu ternyata telah menjerumuskan bangsa ke dalam jurang kelam penuh lumut.

Indonesia (tentu Sumatera Utara) masih harus diperbaharui melalui penyaringan para pemimpin secara lebih ketat. (Harian Global, 26 Maret 2008)

Siapakah yang Membangun Negara ?

Oleh Robinson Sembiring

Setiap kali mengamati jalannya proses pemilihan pejabat, dimulai dari ketika mereka menyatakakan diri ikut pemilihan sampai menapaki strategi yang digunakan untuk memenangkan pemilihan, kerap menyeruak keraguan akan komitmennya untuk membangun negara.
Dalam wacana yang berkembang di kedai kopi, sering muncul ungkapan: “Mana ada orang yang niat utamanya membangun negara ketika mengikuti kompetisi perebutan jabatan!”. Ungkapan ini menyakitkan telinga, namun apa hendak dikata jika dalam kenyataannya keyakinan seperti itu berkembang di tengah masyarakat. Dalam kondisi yang sedemikian itu sebuah pertanyaan menggelitik yang sering mengemuka adalah: ”Siapakah yang akan membangun negara ini ?”

Money Politics
Tentu, yang akan membangun negara ini adalah mereka yang memiliki niat untuk mengelola dan membangun negara, serta memperbaiki managemen negara tanpa ambil keuntungan yang lebih dari apa yang menjadi hak sesuai dengan jabatannya. Karena itu, semua orang yang ingin tampil sebagai calon pemimpin seharusnya bertanya kepada diri sendiri: “Apakah yang saya cari dalam memperebutkan jabatan ?” Jika jawabannya positif, dalam arti bahwa dia berniat membangun negara dan patuh terhadap sumpah jabatan, maka merekalah yang perlu memacu diri untuk tampil sebagai calon.
Mereka yang tidak berani secara tegas menyatakan dirinya tampil untuk membangun dan menaati sumpah jabatan sebaiknya segera mengurungkan niatnya untuk menjadi calon. Rasanya tidak argumentatif jika mereka menyatakan niat membangun negara namun terlebih dahulu telah membelanjakan uang hingga bermilyar-milyar rupiah untuk jabatan yang diincarnya. Belum ada jaminan bahwa biaya yang telah dikeluarkan memastikan ia memperoleh jabatan, karena calon lain juga memiliki peluang untuk memenangkan perebutan. Akan lebih argumentatif jika uang yang telah dimiliki, langsung digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan nyata yang dibutuhkan masyarakat. Ia dapat menunjukkan darma baktinya bagi negeri melalui kegiatan-kegiatan tersebut tanpa harus menjadi pejabat terlebih dahulu. Ia bahkan akan lebih bermartabat daripada pejabat.
Mari sejenak dicermati bersama. Saat ini tidak akan ada yang percaya bahwa si “A” telah memperoleh jabatan tanpa mengeluarkan uang. Kebanyakan orang akan lebih percaya, bahwa ia telah mendapatkan jabatannya sebab telah mengeluarkan uang senilai “harga pasar” jabatan yang berlaku saat ini. Kebanyakan orang juga akan lebih percaya bahwa seseorang bisa menjadi pejabat setelah membeli ini-itu termasuk membeli dukungan. Ungkapan populernya, dia harus melakukan money politics.
Sayangnya, masyarakat pun cenderung bersikap mendukung sepak-terjang para pembeli jabatan dalam mendapatkan jabatannya. Banyak anggota masyarakat suka rela mendukung seseorang hanya karena dibayar atau dimasukkan kedalam team sukses. Posisi sebagai anggota team sukses telah menjadi kebanggaan di tengah masyarakat. Apalagi, calon yang didukung memenangkan pemilihan. Bahkan pernah ada orang dari Jakarta yang berani mengiklankan diri sebagai orang yang paling sering memenangkan calon dalam pemilihan jabatan, tanpa bicara tentang komitmen pembangunan dari calon yang dimenangkan. Pemenangan pemilihan telah menjadi ajang bisnis, bukannya sebagai ajang olah idealisme untuk memilih orang yang kompeten dan memiliki komitmen membangun negara.
Sementara itu, dari sisi masyarakat umum apa sebenarnya yang diharapkan dari seorang calon gubernur, bupati atau walikota ? Amat mengherankan, ternyata banyak anggota masyarakat bahkan bersedia menyediakan waktu berjam-jam mengikuti segala macam acara TV yang isi perbincangannya melulu mengobral janji-janji mulia para calon pejabat yang berdasarkan pengalaman pasti tidak akan dipenuhi setelah mendapatkan jabatan tersebut ? Apakah mereka masih menggantungkan harapan pada sosok yang tidak akan melaksanakan janji-janjinya melainkan mencari uang untuk mengganti uang pembelian jabatan ? Dari debat calon Gubsu yang diselenggarakan salah satu harian di Medan, bahkan ada yang mengaku terus terang bahwa dia mengincar jabatan karena ingin mengumpulkan uang untuk dibagi-bagi kepada banyak orang.

Kemenduaan
Masyarakat sebenarnya sangat gundah-gulana dengan kehadiran “penunggang-penunggang jabatan”. Namun, mereka tidak punya daya untuk menghempangnya. Rasa percaya diri pun telah kian menipis, sehingga pikiran alternatif yang timbul adalah keinginan untuk memanfaatkan calon pemangku jabatan. Sering terdengar perkataan: “Terima uangnya, jangan pilih orangnya!”. Dengan pemikiran seperti ini, lantas mau pilih siapa ?
Dengan jelas telah tampak ambiguitas pada masyarakat. Padahal, negara ini tidak akan mungkin dapat berubah jika masyarakatnya bersifat mendua. Masyarakat yang bersifat mendua tidak bisa bekerja dan bergerak effektif karena mereka tidak memiliki komitmen atas nilai, prosedur dan target. Berdasarkan pengalaman, sifat mendua ini telah menjadikan usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia tidak mengalami kemajuan yang berarti. Begitu banyak orang yang berani berteriak membela para pejabat koruptor dengan alasan uang yang diambil toh digunakan untuk orang banyak. Padahal semua tahu bahwa selama praktek korupsi masih berjalan, maka selama itu pula usaha-usaha pembangunan tidak akan pernah mengubah perangai, apalagi kesejahteraan seluruh masyarakat.
Jika harus ditanyakan lagi: Siapakah yang membangun negara ? Kelihatannya jawaban menggantung di angkasa. Sekarang ini, Indonesia sedang menjalani masa-masa yang menggantung ini. Masyarakat kian kesulitan mencari figur ideal. Disamping itu, sulit pula menemukan kelompok yang jelas dan konsisten masih bekerja untuk membangun negara.
Kelihatannya, inilah saat-saat genting dimana para tokoh, pemikir dan pekerja masyarakat perlu tampil mendorong masyarakat untuk menyadari situasi, serta menyadari seluruh kerugian yang akan dihadapi bangsa ini jika pejabat kian sulit dibedakan dengan penjahat (walau ada juga yang menyebutnya sebagai maling budiman)... (Harian Global, 19 Maret 2008)

Monday, February 25, 2008

Politik La Perotik-otik

Oleh Robinson Sembiring

Konon kata mereka yang yang pada tahun tujuh puluhan banyak membaca buku ilmu politik, konsep ”pembangunan politik” saat ini tidak begitu banyak digunakan orang dalam diskursus politik Indonesia. Namun tidak berarti bahwa pembangunan politik tidak diperlukan lagi. Apalagi kalau pembicaraan dibawa ke ranah politik lokal, akan terlihat betapa issue tentang pembangunan politik masih relevan dan perlu.
Bagaimanakah sebuah public policy dihasilkan oleh pemerintahan lokal di Taneh Karo Simalem; adakah jaminan bahwa aspirasi masyarakat lokal ikut terjaring pada proses pembuatan kebijakan; adakah pemilihan pejabat-pejabat teras mempertimbangkan rasa keadilan dan simpati masyarakat, dan serangkai pertanyaan lainnya perlu dikemukakan untuk menakar sampai dimana demokratisasi telah berlangsung di wilayah “pusung ndabuh” ini. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas akan dapat memberi gambaran tentang sejauhmana pembangunan politik suatu komunitas Karo Sirulo telah tercapai.

Penyepelean
Akh… buat apa bicara politik, dan untuk apa menyinggung pembangunan politik ? Pertanyaan semacam ini masih mengemuka dalam bincang-bincang di kedai kopi pada pagi hari. Alasannya, bicara politik diyakini tidak akan memperbaiki cuaca atau musim, apalagi memperbaiki harga jual sayur-sayuran atau meningkatkan harga jual jeruk. Bicara politik juga tidak akan mengubah apa-apa terhadap tindakan pemerintah dalam mengelola pembangunan. Bicara politik hanya “pekeri-keri arang” sementara “besi la tembe” alias buang waktu. Lebih-kurang argumentasi senada akan mengumandang bersamaan dengan menguapnya asap dan aroma mie tiauw goreng dan gemerincing sendok mengaduk gula pada gelas teh manis.
Masih harus dicatat bahwa wacana politik lokal dianggap hanya soal yang sepele. Jauh lebih menantang dan merangsang bicara tentang konstelasi kekuasaan pada pemerintahan SBY, atau bahkan issue-issue seputar persaingan Hillary Clinton dengan Barack Obama yang sedang membumbung dalam percaturan kekuasaan di AS.
Soal bagaimanakah kualitas public policy, siapa pejabat teras yang dipilih D.D. Sinulingga, signifikankah perubahan iklim administrasi pemerintahan setelah era Sinar Perangin-angin, itu hanya akan menyebabkan suasana perbincangan di kedai kopi menjadi tidak lancar mengalir seperti air. Disadari atau tidak, suasana mehangke ncakapken sikerajangen kalak masih demikian kuat dalam tradisi komunikasi politik orang Karo. Jabatan masih dipandang sebagai milik (kerajangen) orang yang sedang mendudukinya, bukan milik publik !

Gugatan
Maka ketika diajukan gugatan terhadap progress pembangunan politik lokal di Taneh Karo, gugatan tersebut hanya akan merasuk ke dalam benak mereka yang memang belajar tentang ilmu politik dan memiliki kemampuan melakukan overlay antara konsep-konsep atau pemikiran politik dengan realitas politik aktual yang sedang berlangsung. Sedangkan, mereka yang hanya berbekal pemahaman politik berdasarkan referensi terhadap wacana dan perilaku politisi sehari-hari sebagaimana terlihat di lapangan atau sebagaimana terpampang dalam siaran-siaran talk-show ala stasion-stasion tv Indonesia, hanya akan menggeleng-geleng kepala untuk menyatakan pembangunan politik tidaklah merupakan sesuatu yang penting.
Dalam pengertian sehari-hari, masih sangat banyak orang melihat bahwa politik bukanlah sesuatu yang baik. Politik tidak lebih tidak kurang sama dan sebangun dengan perotik-otik. Orang yang dikatakan sebagai ahli politik dianggap adalah orang yang tangkas adu mulut dan cekatan memutar-mutar pernyataan yang dibungkus dengan istilah-istilah dari bahasa asing yang sulit dipahami.
Padahal politik tentu saja bukan seperti yang dipahami di atas. Politik adalah segenap proses tata-hubungan kekuasaan. Ketika seseorang mau meraih kekuasaan, maka dia harus berhadapan dengan segugus nilai yang tidak pernah mampu diterjemahkan secara tidak lengkap oleh peraturan perundang-undangan. Begitu pula ketika seseorang telah meraih kekuasaan, maka dia pun harus berhadapan dengan segugus nilai yang justru harus dia terjemahkan dalam kebijakan atau tindakan-tindakannya.
Berdasarkan sejarah politik, penterjemahan gugusan nilai oleh pemegang kekuasaan ini justru sering lebih banyak nisbahnya ketimbang penterjemahannya ke dalam perundang-undangan. Hal ini terjadi karena sedemikian luas wilayah kebijakan yang harus dicakup, sementara sedemikian sempit ruang untuk memilih karena sedemikian terbatasnya sumberdaya yang dimiliki.

Penjernihan
Maka belajar politik bukanlah belajar pinter bicara berputer-puter dengan istilah yang asing di telinga kaum awam. Melainkan belajar tentang bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan, mulai dari tindakan-tindakan para aktor politik meraih kekuasaan, tindakan-tindakan rakyat dan wakil rakyat berhubungan dan mengawasi pemegang kekuasaan, dan tindakan-tindakan pemegang kekuasaan menterjemahkan nilai dan tujuan kenegaraan (nation-state) ke dalam kebijakan-kebijakannya.
Kelihatannya, sebelum memegang barang licin seperti konsep pembangunan politik sebaiknya istilah politik sendiri perlu dijernihkan terlebih dulu pengertiannya. Setelah pemahaman tentang politik telah lebih mengena sesuai dengan pengertian politik sebagaimana diajukan pendahulu pemikir-pemikir politik, bahwa politik bukan otak-atik (politik la perotik-otik) barangkali konsep seperti pembangunan politik telah bisa dibawa ke kedai kopi untuk untuk dibahas bersama. Alhasil, secara bersama-sama kita akan melihat betapa compang-campingnya kehidupan politik di negeri atas awan Taneh Karo Simalem saat ini...