Banda Aceh, Kompas - Tidak sulit bagi pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri menangani persoalan konflik di Aceh. Syaratnya, pemerintah harus konsisten menjalankan upaya dialog dengan kelompok penuntut kemerdekaan, dan konsisten pula menerapkan proses hukum terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi selama ini."Saya pikir demikian intinya, dan tampaknya Megawati telah melihat ke arah itu," kata Saifuddin Bantasyam, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, ketika dihubungi Sabtu (18/8).
Harapan senada juga dikemukakan Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof Dr Bungaran Simanjuntak, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr M Solly Lubis, dan staf pengajar FISIP USU Robinson Sembiring secara terpisah. Mereka juga menyoroti diberlakukannya Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam.
Saifuddin melihat UU Nanggroe Aceh Darussalam (UU NAD) yang mengatur berbagai masalah menyangkut otonomi khusus bagi Aceh, merupakan bagian dari solusi penyelesaian konflik. Dalam pandangan Saifuddin, UU tersebut bukanlah the final solution, karena permasalahan yang terjadi di Aceh sudah sangat kompleks. Tidak saja menyangkut kelompok penuntut kemerdekaan, tetapi juga luka-luka yang telah lama terjadi hingga sekarang di tengah masyarakat belum diobati.
Itu semua terjadi karena hingga sekarang pendekatan keamanan masih dikedepankan dan mendapat legitimasi pemerintah. Yang terakhir adalah Instruksi Presiden No 4 Tahun 2001 yang mengatur langkah-langkah konprehensif penyelesaian masalah Aceh. Di lapangan, yang terlihat lebih mengemuka adalah pendekatan keamanan, sementara pendekatan lainnya masih jalan di tempat.
Dalam kondisi demikian, kata Saifuddin, pemerintahan Megawati harus berada pada satu titik tegas dan mengambil langkah bijaksana untuk penyelesaian konflik Aceh.
Pertama, Megawati harus mengedepankan langkah dialog dengan pihak penuntut kemerdekaan. Berbagai solusi akan didapat manakala dialog berjalan dengan kepala dingin. Untuk mencapai proses itu, enam perunding dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah ditangkap polisi sejak 20 Juli lalu harus dilepaskan.
"Memang butuh waktu untuk mencapai solusi dalam dialog. Saya kira Menlu Hassan Wirayuda sudah punya pengalaman banyak soal itu, karena beliau pernah terlibat hal yang sama di Filipina," katanya.
Tahapan-tahapan kesepakatan dalam perundingan pun jangan diusik oleh aktivitas lain yang dapat memperkeruh kondisi keamanan. Menurut Saifuddin, kesepakatan masalah keamanan harus diutamakan terlebih dahulu untuk selanjutnya masuk dalam fase pembicaraan politik. Kalau keamanan kacau, akan sulit melakukan perundingan.
Kedua, Megawati harus konsisten menjalankan proses hukum terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi sejak lama di Aceh. Menurut Saifuddin, di mata rakyat di Aceh, hukum sejak lama bagai tidak mampu ditegakkan. Dia menyebut bagaimana berbagai kasus yang terjadi sejak masa pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) tahun 1989-1998, serta sejumlah operasi lainnya hingga sekarang telah menyebabkan jatuhnya korban rakyat sipil dalam jumlah besar. Rakyat ingin melihat bagaimana hukum bisa ditegakkan tanpa memandang siapa yang terlibat.
Pelaksanaan proses hukum di mata rakyat adalah sesuatu yang pasti, karena di sana mengandung nilai-nilai harga diri, harkat dan martabat orang Aceh. Ketika ini tidak dijalankan, maka kepudaran rasa percaya rakyat pada pemerintah tak bisa terelakkan.
Direktur Eksekutif Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP HAM) Aceh itu melihat pemerintahan Megawati bisa melaksanakan proses itu jika disertai kemauan keras dan iktikad baik.
Menurut dia, langkah dialog dan proses hukum itu harus dilakukan serius, sehingga rakyat dapat memberi penilaian bahwa pemerintah tidak main-main dalam menyelesaikan konflik Aceh yang telah puluhan tahun terjadi.
Langkah lainnya adalah menyangkut pendekatan sosial, ekonomi selaras dengan kebutuhan masyarakat. Tentang UU NAD itu sendiri, dia mengatakan, akan kurang gemanya di masyarakat manakala kekerasan terus terjadi setiap hari dan proses hukum terhadap pelakunya tak berjalan. "Masyarakat Aceh itu inginnya hidup tenang dan jauh dari ketidakpastian," tegasnya.
Pendekatan berbagai sudut
Sementara itu, Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof Dr Bungaran Simanjuntak berpendapat, ada dua hal yang harus dilakukan pemerintahan Megawati dalam menangani masalah Aceh. Pertama, meneliti secara sungguh-sungguh akar permasalahan di Aceh. Kedua, melakukan pendekatan dan penyadaran secara terus menerus kepada tokoh-tokoh masyarakat serta kelompok bersenjata.
Dalam perbincangan dengan Kompas di Medan, Kamis, ia menambahkan, masyarakat Aceh sebenarnya adalah masyarakat heterogen, yang terdiri dari berbagai macam subkultur.
"Megawati sebaiknya melanjutkan apa yang sudah dilakukan Abdurrahman Wahid. Hanya saja, kelemahan Abdurrahman Wahid adalah tidak dilengkapi penelitian mendalam tentang akar masalah. Padahal, tidak semua kabupaten satu ide dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Bahkan, bukan hanya tingkat kabupaten, tidak semua subkultur seide dengan GAM. Jadi, sekalipun sekarang ini suara yang keluar seolah-olah satu, tetapi sesungguhnya setiap subkultur memiliki pendapat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak bisa semuanya disamakan dengan gerakan separatis," tegasnya.
Diingatkan pula, di Aceh terdapat berbagai macam lembaga adat yang sangat besar pengaruhnya, yang juga mempunyai pendapat beragam. Hanya saja, berbagai pendapat yang berbeda tersebut tidak mungkin muncul ke permukaan. Sebab, ketika mengatakan setuju dengan pemerintah, akan menjadi sasaran GAM. Sebaliknya, jika menyatakan setuju dengan GAM akan menjadi bulan-bulanan aparat keamanan. Patut diperhatikan, lembaga-lembaga adat tersebut merupakan salah satu pintu masuk yang penting, untuk mengetahui beragam pendapat yang ada dalam masyarakat, serta menyadarkan dan meyakinkan kembali makna kehidupan sebagai satu bangsa.
Karena Aceh adalah daerah yang secara kultural heterogen, tambah Simanjuntak, maka pendekatannya pun harus dilakukan dari berbagai sudut, baik kultural, ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun keamanan. Dengan demikian, kalaupun ada satu kelompok yang harus didekati dengan kekuatan militer, tidak bisa semuanya diperlakukan demikian.
"Kesalahan pemerintah selama ini adalah hanya ingin penyelesaian sekejap, tanpa melihat akar permasalahan. Kalau melakukan sikat habis lagi, maka kelompok yang tadinya tidak sependapat dengan kelompok separatis justru jadi ikut, atau paling tidak, tidak membantu pemerintah pusat," katanya.
Mengenai pemberlakuan hukum Islam di Aceh, Bungaran Simanjuntak memandang masih dalam taraf kewajaran mengingat komposisi penduduknya. Namun, menurut dia, yang penting adalah bagaimana menumbuhkan kembali kesadaran dan meyakinkan masyarakat, bahwa Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari negara kesatuan RI.
"Kita juga hanya bisa mengingatkan kepada tokoh-tokoh Aceh yang mengangkat senjata, harus ada take and give. Pemerintah pusat tidak akan mundur dari UUD 1945. Jadi, apa yang sudah dilakukan pemerintah pusat, termasuk dengan UU Nanggroe Aceh Darussalam tersebut, mesti direspons positif. Kalau tidak, tidak akan selesai-selesai gejolak di Aceh, dan benturan senjata pada akhirnya hanya akan merugikan rakyat," katanya.
Kepada pemerintahan Megawati diingatkan, tidak ada penyelesaian dengan hasil yang instan. Penyelesaian masalah Aceh memerlukan proses dan waktu. Harus dilakukan dengan pendekatan dan penyadaran terus-menerus dari berbagai sudut dan lapisan masyarakat Aceh.
UU Nanggroe Aceh
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr M Solly Lubis menyatakan, sampai saat ini secara riil pemerintah pusat belum memberikan keistimewaan dalam bidang ekonomi kepada masyarakat Aceh. Kalaupun hal itu sudah dijawab dengan ditetapkannya UU Nanggroe Aceh Darussalam, tetapi pelaksanaannya masih akan banyak ditentukan oleh bagaimana sambutan masyarakat Aceh itu sendiri.
Masyarakat Aceh yang setuju dengan undang-undang tersebut pun akan melihat dahulu, sejauh mana kepentingan-kepentingan daerah diperhatikan. Dengan demikian, seperti halnya Bungaran Simanjuntak, Solly Lubis berpendapat, penyelesaian masalah Aceh memerlukan proses dan waktu, serta harus dilakukan secara komprehensif dan terencana matang.
Sedangkan staf pengajar FISIP USU, Robinson Sembiring mengemukakan pendapat berbeda. "Sulit bagi kita untuk membayangkan terciptanya upaya penyelesaian konflik yang adil bagi semua pihak. Soalnya, bagaimana kita harus menimbang antara motif dendam dari luka lama pemberlakuan Daerah Operasi Militer dengan motif penegakan hukum," katanya.
Oleh karena itu, alternatif paling baik saat ini, menurut dia, aparat keamanan justru harus diberi toleransi untuk bertindak lebih tegas lagi, tetapi tetap dalam koridor hukum. Akan tetapi, langkah tegas tersebut harus disertai pemberian kompensasi kepada korban kekerasan masa lalu.
Untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lampau, mencegah tindakan petugas keamanan yang menyeleweng dari jalur hukum, masyarakat Aceh harus diberikan kesempatan untuk turut merumuskan dan memutuskan cara penegakan hukum tersebut, serta mengawasi pelaksanaannya. "Berikan kesempatan pada masyarakat Aceh memberikan laporan yang benar, dan melihat operasi hukum tersebut," katanya.
Di lain pihak, menurut Sembiring, cita-cita sebagian masyarakat Aceh untuk melepaskan diri dari pangkuan Republik Indonesia, adalah bukan cita-cita yang rasional selama konsep NKRI masih hidup.
Diingatkan, terlalu banyak pengalaman sejarah pada kelompok masyarakat bangsa lain yang menunjukkan konflik semacam itu hanya akan menjadikan terbuangnya energi sosial masyarakat. "Cita-citanya tidak pernah tercapai, yang didapat hanya perang setiap hari. Senang-tidak senang, kelompok separatis harus menerima sebuah realitas sejarah, bahwa masyarakat Aceh terlahir sebagai putra-putri RI," katanya. (nj/anv)/Kompas