Friday, April 10, 2020

Pada Sebuah Sore Bersama AVERIANA BARUS


“Oh ya saya datang Pak!”, sebegitu singkat dan cepat sang beru Karo ini menyambut ajakan saya untuk ngobrol pada sore itu. Dia berpakaian ringkas, melangkah tangkas dan bicara cerdas. Itu  kesan awal yang tertangkap.
Uis Karo sudah lama, tapi dijadikan sebagai fashion, itu baru”, ungkapnya memulai percakapan. “Bisa dikatakan setelah Rumah Uis lah, orang aware bahwa uis Karo bisa dijadikan pakaian dan akhirnya mereka yang mau dan sanggup, berlomba-lomba. Mereka kemudian menyatakan dirinya ini saya , dan saya orang Karo! Itu point pentingnya”, lanjutnya.

Averiana Barus
Averiana Barus, pemilik dan pengelola produksi pakaian dengan merk “Rumah Uis” yang dalam kesehariannya sudah melibatkan lima orang staf dan dua puluhan orang yang terlibat dalam produksi. Usaha ini berlokasi di Jalan Jamin Ginting KM 8 Padang Bulan. Lokasi itu sekaligus tempat untuk berproduksi dan toko untuk memajang hasil produksi dan berjualan.

Tidak hanya terlibat dalam hal produksi Uis, bahkan tesis untuk mendapatkan gelar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP - USU yang saat ini sedang ditulis juga mengambil topik Uis.
Beru Karo ini, pernah 3 tahun bergelut dalam dunia jurnalistik pada sebuah media dari sebuah usaha penerbitan besar di Medan. Namun keinginannya untuk meraih sesuatu yang lebih dan dekat dengan passionnya, kini mengantarkannya pada sebuah dunia yang berbeda yaitu produksi kain tradisi Karo yang disebut “uis”, plus membuat karya musik sebagai penyanyi.

Dia putuskan hengkang dari kegiatan jurnalistik, walaupun penghasilan sebagai jurnalis sebenarnya terbilang cukup, namun magnet berkesenian ternyata telah menariknya sedemikian kuat tidak terbendung. Hari-hari dalam kekiniannya, sepenuhnya bergumul tentang karya seni uis maupun musik yang serasa lebih membawanya pada dunia yang selama ini hidup dalam lubuk hatinya yang terdalam.

Pada rembang sore itu, obrolan dengannya pun mengalir seperti bual di jambur kuta tengah kesain; dari satu topik meloncat ke topik lain. Dalam rangkaian obrolan yang mengalir diselingi suara intrumentalia piano lagu “We Are The World”, sang artis kita ini menyemburkan komentar: "Ada missing link pada tradisi uis kita. Dulu, orang hanya memakai uis Karo kemana-mana. Ke sawah memakai uis Karo, ke pesta juga, ku tiga e kang, medem pe e kang karena hanya itu pakaian yang tersedia. Sekarang uis hanya dipakai ke pesta adat, jika dipakai untuk pakaian sehari-hari misalnya dibuat kemeja ada yang keberatan. Kenapa keberatan? Disitu ada yang terputus. Ketika jaman kita sudah mengenal kemeja, penggunaan uis dikesampingkan. Hanya digunakan untuk peradatan. Padahal dulunya dipakai ke setiap kegiatan.”

Menurut Averiana, dulunya warna uis Karo adalah indigo (nila). Namun, belakangan sebagai hasil interaksi dengan suku lain dan teknologi baru muncullah warna lain seperti warna merah. Orang Karo suka warna merah agaknya berhubungan dengan kondisi lingkungan. Warna merah tampak menyolok dalam lingkungan alam Karo yang didominasi warna hijau.

Averiana melihat wanita Karo bukanlah penenun seperti wanita Batak Toba. Wanita Karo lebih memilih berladang karena keuntungan dari bertani jauh lebih besar dari bertenun. Hal ini disebabkan suburnya tanah di Karo berkat keberadaan gunung berapi seperti Sinabung sehingga membuat pertanian lebih mejadi penopang hidup masyarakat Karo. Maka aktivitas menenun uis Karo pun ditinggalkan orang demi pertanian dengan menanam cabe, tomat, jeruk, kopi dan sebagainya. Kebutuhan masyarakat Karo akan kain tenun disuplai oleh penenun-penenun dari Samosir dan sekitarnya.
“Disana lahan pertanian sangat terbatas, sehingga mereka tetap menenun sebagai mata pencaharian” ujar Averiana yang lahir 29 Maret 1987.

Rumah Uis memproduksi aneka produk fashion berbahan kain adat, tas hingga perhiasan unik khas Karo. Kehadiran Rumah Uis menjadi penting karena belum banyak yang mengeksplorasi kain Karo untuk dijadikan ajang fashion. Averiana menjadi pelopor produk-produk berbahan Uis Karo dan produknya pun kian diminati. Ia mengenalkan ragam Uis Karo lewat busana-busana yang ia desain sendiri bersama timnya.

Percakapan dengan Averiana di sore itu sangat menarik dan sebenarnya masih banyak yang perlu diperbicangkan dengan wanita Karo yang berbakat dan berpengetahuan luas ini. Ketika disinggung mengenai rumah adat yang sering menjadi logo dari berbagai organisasi Karo, menurutnya sebenarnya masih banyak ornamen Karo yang mengandung makna filosofi yang dalam tapi kurang mendapat perhatian. Akhirnya rumah adat saja yang dibuat, karena hanya itu yang diketahui sebagai representasi Karo.

Ketika malam turun, lampu-lampu jalan mulai menyala, percakapan kami harus terhenti, dan kami pun berpisah. Benar, masalah budaya Karo khususnya terkait dengan uis tradisional, masih banyak yang menarik untuk diperbicangkan secara mendalam dengan Averiana. Itu disimpan untuk perjumpan pada kesempatan lain.

No comments: