Friday, December 14, 2018

Pada Suatu Sore: Obrolan Musik Karo


Sobatku seorang ahli bangunan. Cocoknya, dia jadi konsultan bangunan, namun nasib mengantarnya jadi tukang. Keahliannya yg lain, mengutak-atik mesin mobil hingga sepeda motor. Overlay dengan amatan Gus Dur di tahun 80-an tentang orang Karo, maka sobatku ini pastilah Karo sejati. Tiada hari tanpa utak-atik mesin. Namun belakangan ini "rejeki"nya lebih sering nyangkut proyek bangunan. Katanya: "Rejeki ibarat musim ditengah climate change yang meng-global. Susah meraba musim; yang penting nyala api tidak menjulang ke atas (la pajek gara api) di dapur."

Ketika pada suatu sore yang mengelinyang, kami ngobrol, bual utara-selatan. Disela obrolan yang seperti rantai sepeda, saya klik pada android sebuah video klip lagu Karo yang diposting oleh seorang pemusik Karo sebuah lagu yang dilantunkan Femila Sinukaban, "Ara Sitengen-tengen".

Sontak, sobatku menyemburkan komentar: "Sayang sekali, sayang sekali..." Kenapa? Jawabnya: "Potensi anak muda Karo jaman now sedemikian besar, tapi tak cukup untuk menerbangkannya ke orbit angkasa". Dalam pandangannya, bakat, kreativitas dan keterampilan tak cukup mengangkat karya seni anak muda Karo hingga orbit langit musik Indonesia, apalagi ke orbit musik internasional. Dibutuhkan gawe bersama antar kelompok, dan antar generasi.

Dalam pandangannya, generasi Karo sebelumnya tak punya greget membantu pemusik dan penyanyi muda Karo. Jangan-jangan mereka tidak care sama sekali. Kenapa? Mereka menganggap musik Karo adalah musik Karo yang dulu mereka sering dengar. Mendengar musik adalah nostalgia, mengenang masa lalu. Musik sekarang seharusnya tetap pada pakem lama, jika pun berubah ya seperti musik gendang kibod salih ku patam-patam atau lagu dan musik jaman Jaga Depari, Jusuf Sitepu,  Hormat Barus atau Darmi Perangin-angin.

Musik untuk nostalgia? Sobatku sangat meyakini trend itu. Seolah-olah karya baru dengan sentuhan baru tidak lah begitu direspons. Tidak menggores kalbu! Tidak menyentuh perasaan. Akhirnya lewat begitu saja tanpa diterge. Tak ada bual kede kopi yang memburas soal musik anak muda. Tak ada yang bahas tentang konser Plato Ginting, konser Murni Surbakti, atau konser Averiana Br. Barus.
Dalam sebuah grup WA orang Karo, hanya 2 - 3 orang yang merespons ketika seorang partisipan menyampaikan info bahwa lagu Karo Famili Taksi yang dinyanyikan B3Voice telah ditonton lebih dari 2 juta penonton. Obrolan tentang kelakuan Gubernur Sumatera Utara yang diwawancarai reporter TV atau ramalan nomer togel jauh lebih menggoda. Akh...

Menurut sobat saya yang lain, seorang dosen di Medan, jangan tangisi situasi ini. Kita memang tidak memiliki habitus yang secara khusus concern untuk mengamati, membincangkan, menikmati, lengkapnya mengapresiasi karya-karya seni dari segment masyarakat kita. Lebih dari itu, kita tidak memiliki agency structure sebagaimana yang terdapat pada sistem sosial bangsa lain yang secara khusus concern bertanggungjawab mengurusi produk budaya dari masyarakat/etnik. Agency ini lah yang memberi suatu ruang dalam kehidupan setiap sistem sosial untuk mengguyurkan karyanya untuk dinikmati seluruh anggota masyarakat.

Kembali pada sobatku sang tukang. Ketika sore kian tertutup tirai hari, dia mengakhiri semburatannya dengan mengajukan pertanyaan pilu sepilu suara serak surdam, kapankah orang Karo yang telah mapan secara ekonomi mau bersama-sama menyediakan panggung besar secara reguler bagi karya-karya anak muda Karo yang akan mengangkat nama Karo?

Sambil menggulung sampannya dia melontarkan keyakinannya bahwa terangkatnya sebuah karya seni akan menginspirasi karya dan prestasi di bidang lain seperti olah raga maupun pendidikan dan teknologi.

Catatan:
*) Sampan = Kampoh

No comments: