Thursday, July 14, 2011

Menguak Peran Mahasiswa

Oleh P. Anthonius Sitepu/Robinson Sembiring

Kehidupan mahasiswa digugat lagi. St Sularto/Pramono BS lewat tulisan berjudul Protes Sana, Protes Sini (Kompas, 5 Agustus 1988) menyuratkan terjadinya penyempitan orientasi kegiatan mahasiswa serta kian tumbuhnya pragmatisme di kalangan mahasiswa kita.

Sementara itu, Dr Soedjatmoko mengemukakan adanya dilema pokok yang dihadapi perguruan tinggi/universitas di negara-negara Dunia Ketiga, yakni antara kedudukannya sebagai perangkat yang berfungsi mengejar keterbelakangan di bidang ilmu dan teknologi… dengan kedudukannya yang berfungsi dan mendidik ahli-ahli untuk keperluan mayoritas miskin dan terbelakang (Kompas, 9 Agustus 1988). Selanjutnya Soedjito mengemukakan perlunya masyarakat kampus keluar, dan tidak mengungkung diri dalam kampus tanpa melihat realitas yang terjadi di luar (Kompas, 10 Agustus 1988). Beranjak dari kenyataan selama ini, setidaknya terdapat tiga pandangan dalam kaitannya dengan peran yang harus dimainkan mahasiswa.

Belum Dewasa

Pandangan pertama menganggap bahwa mahasiswa seharusnya tidak perlu terlalu banyak urusan di luar dunianya. Sejalan dengan konsep tradisional tentang perkembangan hidup manusia, mahasiswa digolongkan kedalam masyarakat yang belum dewasa. Mereka dianggap belum memenuhi persyaratan tampil menangani masalah yang seharusnya diserahkan kepada orang dewasa. Mereka dianggap sedang berada dalam kehidupan peralihan menuju tingkat kedewasaan. Mereka dianggap belum memenuhi persyaratan untuk hidup sebagai orang dewasa. Karena itu, hak dan kewajibannya pun belum dianggap penuh seperti halnya orang dewasa.

Sebagai orang yang mempersiapkan diri memasuki kehidupan secara penuh, mahasiswa ditugaskan untuk belajar. Hak mereka disesuaikan dengan tugas itu. Sebagai orang -golongan- yang mempunyai hak dan kewajiban seperti itu, mahasiswa dianggap tidak mempunyai hak untuk mengembangkan diri menjadi kekuatan politik. Sebab politik dan organisasinya adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang dewasa. Orang dewasalah yang penuh untuk memasuki dunia politik karena mereka dianggap sudah matang dan dapat bertanggung jawab untuk mengendalikan kehidupan masyarakat melalui politik.

Harus Mampu

Pandangan kedua menganggap mahasiswa harus mampu menangkap dan menguasai aspirasi masyarakat. Mereka dibesarkan dan dibiayai oleh masyarakat. Karena itu kewajiban mereka adalah membela kepentingan masyarakat. Dalam ungkapan lain, mereka seharusnya berfungsi sebagai sosial kontrol bagi praktek kekuasaan. Karena dalam hal ini sumber kekuasaan yang berasal dari masyarakat, dan karena masyarakat secara keseluruhan tidak dapat menjalankan kekuasaan tersebut, maka didelegasikalah kekuasaan-kekuasaan mereka kepada sekelompok orang yang dipercayai yang diharapkan akan dapat membela dan akan melayani kepentingan mereka yang disebut elite.

Namun elite juga sebagai sekelompok manusia yang memiliki kepentingan sendiri. Maka praktek kekuasaan mereka harus dibatasi agar tetap berada di jalur kepentingan masyarakat. Untuk itulah kiranya kontrol diperlukan.

Mahasiswa dalam hal ini dapat dikatakan sebagai bagian anggota masyarakat yang mempunyai potensi (energik, relatif muda, berani) seharusnya mampu dan bersedia menjalankan fungsinya. Terlebih lagi mereka adalah kelompok yang belum banyak terikat oleh kepentingan pribadi.

Pandangan ini cenderung dimiliki oleh mahasiswa sehingga mereka berkecenderungan senantiasa mengamati kelemahan kebijaksanaan pemerintah dan melontarkan kritik. Akibatnya mereka cenderung bertentangan dengan pemerintah.

Partner Pemerintah

Pandangan ketiga menganggap mahasiswa diperlakukan sebagai partner pemerintah. Pemerintah dan mahasiswa secara bersama-samaadalah bagian dari masyarakat yang posisinya berada di bagian terdepan. Pemerintah dan mahasiswa secara bersama-sama pula memikirkan dan malayani kepentingan masyarakat. Secara bersama-sama mereka membangun segala sesuatu yang dibutuhkan dalam kerangka pencapaian tujuan atau cita-cita nasional, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata berdasarkan Pancasila dan UUD’45 melalui pembangunan nasional.

Sebagai partner pemerintah mahasiswa ikut dibelakang pemerintah, berbisisk-bisik memperingatkan manakala terdapat kekurangan dan kekeliruan. Untuk menutupi kekurangan atau kelemahan yang wajar dimiliki pemerintah, mahasiswa merasa mampu memberikan pemikiran, alternatif yang memungkinkan dapat memberikan masukan kepada pihak pemerintah dalam hal ini berkaitan dengan program pembangunan dan pembuatan kebijaksanaan nasional.

Manakala pemerintah menemui jalan buntu untuk menangani suatu masalah, penampilan mahasiswa berarti sangat membantu, dalam hal memberikan alternatif yang diperlukan. Dalam posisi ini mahasiswa tidak banyak nbersikap menuntut, dan sepantasnya mereka tidak menunjukkan sikap yang dapat menjatuhkan wibawa pemerintah. Sebaliknya, antara pemerintah dan mahasiswa sebaiknya bahu-membahu demi mengemban penderitaan rakyat banyak ini.

Aktivitas mahasiswa

Beranjak dari pandangan yang tidak seragam tadi, terutama menyangkut role expectant mahasiswa, membawa pengaruh ketidakparipurnaan dukungan terhadap aktivitas mahasiswa. Mahasiswa tidak pernah yakin akan kelurusan jalan yang mereka tempuh sebagai akibat terciptanya pagar penghalang, hasil ketidakseragaman pandangan role expectant mereka. Dikaitkan dengan nilai-nilai “ketimuran” barangkali peranan paling ideal yang dijalankan mahasiswa adalah sebagai partner pemerintah.

Selamai ini mahasiswa sudah terlanjur mencatatkan diri sebagai kelompok masyarakat ilmiah yang mempunyai tanggungjawab moral untuk melihat lingkungan sekitarnya dari perpektif keilmuan. Artinya, mereka dituntut secara moral berperan sebagai agent of change atas kekurangan yang timbul ditengan masyarakat, terutama akaibat kurang berfungsinya kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada.

Ilmu yang mereka peroleh dibangku kuliah seakan menjadi modal dan alat yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah kondisi yang berkembang tidak proporsional. Oleh sebab itu, dapat diterima bahwa sering tampilnya sikap yang kurang kompromistis pada golonbgan mahasiswa terhadap setiap ketimpangan yang terjadi di lingkungan masyarakat.

Kondisi ini secara psikologis diperkuat oleh pengetahuan mereka tentang sukses yang dialami oleh golongan mahasiswa (Angkatan’66), sehingga makin memp-ertebal keyakinan bahwa golongan mahasiswa senantiasa menjadi figur sentral yang membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat.

Di pihak lain, secara psikologis pula pemerintah masih sulit menerima golongan ini menjadi partner karena sifat dan karakter mereka cenderung lebih “vokal” dalam menyuarkan aspirasi –suatu hal jarang dapat diterima dalam kultur politik yang dominan dewasa ini.

Perbedaan persepsi di atas tidak memberi kejelasan bagi mahasiswa tentang peran yang harus mereka lakukan. Mahasiswa sebagai partner pemerintah pun kalau hal itu yang dikehendaki, tetap saja memerlukan penjelasan lebih tegas dan tuntas.

Dua persyaratan

Sebelum sampai pada usaha menjadikan mahasiswa sebagai partner pemerintah, sekaligus unruk mempertemukan persepsi yang berbeda, paling tidak ada dua hal yang perlu dipikirkan.

Pertama, perlu ada kebijaksanaan yang lebih realistis dan akseptabel bagi mahasiswa bahwa Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) ditujukan bukan untuk mengekang aktivitas mahasiswa di bidang kehidupan sosial dan politik, melainkan untuk membangun mahasiswa agar mampu menguasai ilmu dan teknologi. Jika dikaitkan dengan pengabdian pada masyarakat, maka penguasaan ilmu dan teknologi tersebut akan meningkatkan kualitas partisipasi mahasiswa dalam menata kehidupan masyarakat.

Kedua, dirasa perlu mengurangi kecurigaan yang berlebihan terhadap aktivitas mahasiswa. Pemberian kelonggaran –kelonggaran bagi kegiatan mahasiswa yang erat kaitannya dengan masalah –masalah kemasyarakatan sangatlah mendukung mantapnya peran yang diharapkan. Selama ini sangat menonjol kecenderungan untuk lebih merestui kegiatan-kegiatan mahasiswa yang lebih bersifat rekreatif yang dampaknya bisa dilihat dari kenyataan akan mandulnya kepekaan mahasiswa terhadap realitas kehidupan masyarakat.

Konsep NKK saat ini masih dirasa memerlukan penjabaran lebih lanjut; antara lain menonjilkan unsur kepekaan mahasiswa yang lebih tajam terhadap lingkungan masyarakat yang lebih luas. Bagaimanapun juga kita tidak menghendaki NKK sebagai produk yang akan menyingkirkan kepekaan mahasiswa dari realitas sosial.

Apa dan bagaimana kesinambungan usaha untuk memberi peranan mahasiswa yang lebih nyata sebagai partner pemerintah tentu lebih banyak bergantung kepada kesamaan kita tentang eksistensi mahasiswa yang bukan merupakan kelompok eksklusif dalam masyarakat Indonesia. Apa pun konsekwensi yang menyertainya, menempatkan mereka pada posisi wajar sebagai bagian dari barisan pembaharu, tampaknya lebih relevan dengan situasi saat ini. (Kompas, 24 Agustus 1988, hal. 4)